[caption id="attachment_356887" align="alignnone" width="646" caption="goole.com/image"][/caption]
Terlihat begitu indah dedaunan itu, bergoyang mengikuti irama angin yang berhembus. Oh, sungguh segar udara pagi ini. Aku gayuh lagi sepeda tuaku menyusuri pedesaan tempatku lahir. Suara gemerincik air sungai membuat diri ini nafsu untuk menikmati kesegarannya. Pohon-pohon yang rindang bagai penerima tamu yang senantiasa berdiri disamping jalan. Burung-burung berterbangan kesana kemari menikmati kekayaan alam. Suara gemericik ikan-ikan seakan mengucapkan selamat pagi padaku. Begitu Indah panorama alam ini.
Seperti tak merasa lelah diri ini mengayoh sepeda reotku. Menyusuri jalanan yang berkelak-kelok, melewati pegunungan yang hijau dan berkabut. Melewati aliran sungai yang jernih. Kehidupan alam sungai yang nampak mengagungkan terlihat dalam permukaan. Kambing-kambing seperti tak kehabisan rumput untuk dikunyah. Hahhhhh, !!!!!!!! ingin rasanya ku habiskan udara sejuk pagi ini.
Matahari sepertinya sudah mulai tinggi, suara gemerucuk terdengar dari dalam perut, seakan demo menginginkan kebutuhannya. Aku kembali pulang dengan sebatang singkong yang ku ambil dari pekarangan. Beginilah kondisi rumahku dikelilingi pepohonan yang rindang. Sungai mengalir tak jauh dari mata memandang. Aku letakkan sepeda reotku disamping rumah. “Buk, hari ini masak apa ?” tanyaku pada istri. “Ikan goreng Pak.” Jawabnya sambil membawa ikan goreng yang terlihat begitu reyah jika dikunyah. “ah, seperti orang kota saja hari ini Buk.” beginilah kehidupanku, tak butuh uang untuk memenuhi kebutuhan. “ya sudah, Bapak sudah lapar.” Begitu mudahnya mengisi perut ini. Ikan tinggal pancing di sungai belakang. Tomat tinggal petik di kebun. Bakar ikan tinggal ambil kayu. Oh, begitu indahnya alamku bagai replika surga.
“Pak, bagaimana hasil panen padi kita ?” Tanya istri.
“Alhamdulillah, ada peningkatan Buk. Ya walaupun hanya beberapa karung saja.”
“patut di syukuri pak. Setidaknya kita makanpun juga masih mudah mencari persediaan.”
Pagi itu aku duduk di bawah pohon, semilir angin seperti suara seruling yang bergema. Terselip suara tangisan yang menggemuruh dalam telinga ini.
“pak tua. Tolong kami?”
Tiba-tiba suara rintihan terdengar ditelingaku.
“Siapa itu?” aku bangkit dari lamunanku. Aku pandang seluruh sekitarku tak ada jawaban sedikitpun.
“Siapakah yang berbicara itu?” Aku mulai merasa ada yang aneh.
“aku yang kau sandari ini pak tua.”
“Kenapa kamu menangis?” aku pun mulai bingung dengan keadaan ini.
“ Kebringasan yang Cucumu lakukan telah mulai melebihi batas kewajaran. Apakah kamu tidak melihat apa yang mereka lakukan? Setiap hari memotong-motong tubuh keluargaku, menggusur tanah yang kami jadikan tempat berdiri. Kurang baik apa kami terhadap kalian Pak tua? Setiap waktu kami rela membagikan oksigen kepada manusia. Membagikan udara sejuk di pagi hari. Membagikan ranting untuk mengasapi dapur. Tapi balasan mereka seperti ini pada keluargaku.”
“Mungkin umurku tidak akan lama lagi pak tua. Cucu-cucumu datang dan mengukur tubuhku. Berjalan menyusuri hutan, seakan mencari jalan keluar masuk untuk roda-roda besi itu pak tua. Salamkan maafku pada anak-anakku jika kelak aku sudah tidak lagi bernyawa.”
Aku hanya bisa terdiam mendengarkan rintihan pohon tua itu. Apakah aku salah mengajarkan anak-anakku tentang alam ini? Apakah mereka lupa dengan tempat bermain diwaktu kecil. Berlari-lari mengejar kelinci didalam hutan. Mandi di sungai yang jernih tanpa sampah sedikitpun. Alam bagaikan teman seperjuangan. Tapi kenapa sekarang dipermainkan layaknya binatang malang.
***
Sungai mulai mengikuti pembicaraan, “Aku ikut menyuarakan penderitaanku pak tua. Tubuhku kini dilumuri sampah, ikan-ikanku mati keracunan. Air-ku kotor, hitam, bau, tak layak untuk kehidupan. Sungguh bringas cucumu itu. Suatu saat akan aku balas semua perbuatannya, dengan terjangan air yang begitu dahsyat pada mereka.”
“Maafkan kelakuan kami wahai sungai?” aku pun mencoba menenangkan keadaan.
“Tak cukup hanya kata maaf Pak tua. Kapan mereka akan sadar dengan hal ini?” Akupun terdiam, hanya bisa meneteskan air mata mendengar semua ini.
“Pak tua Cucu-cucumu sudah terlalu kelewatan. Memotongi pohon tempat dimana burung tinggal. Menggusur lahan tempat pohon berpijak, setiap hari pulang pergi roda-roda berputar mengelilingi tubuhku. Mengrogoti tubuhku untuk memenuhi keegoisan mereka. Sungguh pilu diri ini melihatnya. Panas matahari mulai menyengat pak tua. Butiran es yang menggumpal dimana tempat beruang kutub tinggal, sedikit demi sedikit telah menghilangkan bentuknya. Air semakin hari bertambah memenuhi tubuhku. Aku rindu dengan ketenangan. Aku rindu dengan kesejukan. Aku rindu dengan kejernihan. Aku rindu dengan cucumu yang dulu Pak tua!!!! Menaiki prahu kecil, menggunakan jala dan alat seadanya untuk memenuhi kebutuhan. Pulang pergi setiap hari membawa ikan seadanya tanpa meninggalkan kerusakan dan pencemaran. Tapi kini, kekerasan yang aku rasakan. Kapal-kapal besar kesana kemari melewati tubuhku. Meninggalkan cairan yang busuk, menggerus karang, menyiksa kehidupan ikan dan karang. Mengkocar-kacirkan kehidupan lautan.”
Saat itulah aku mulai menangis melihat keadaan alam ini. Apa yang bisa aku lakukan?aku hanyalah seorang laki-laki tua. Hidup dalam kemiskinan, mengadu nasib pada alam. Tapi kini alam mulai bosan. Seperti tak ingin bersahabat lagi. Kapankah manusia akan sadar dengan keegoisannya. Hutan di gusur dijadikan perkotaan.
Panas, polusi, banjir, pertengkaran, kebohongan, kebencian, perzinaan seakan lengkap menghiasi kehidupan alam sekarang. Kemurkaan alam pastilah akan datang tak akan lama lagi.
***
Beberapa bulan kemudian, terjadilah suatu musim yang sangat aneh. Hujan terus-menerus turun di musim kemarau. Tanaman yang petani taman, lenyap di telan berkubik-kubik air. Banjir tak terhindarkan, akupun mulai merasakan apa yang alam sampaikan.
Nelayan berhenti menyeberangi lautan akibat badai yang muncul begitu besar. Angin telah murka, inilah jawaban atas kelakuan manusia. Kelaparan meraja lela.
“Tuhan, apa salah kami, sehingga engkau berikan kami musibah yang amat panjang?”
“Hahahahaha,”
Angin pun tertawa melihat tangisan para nelayan.
“Salahkan saudara kalian, salahkan mereka yang tak bertanggung jawab. Salahkan sitangan jahil yang tak mau memelihara kehidupan alam.”
Cucuku datang dengan kesedihan, berlari dalam derasnya air hujan yang menantang.
“Kakek, rumahku hilang !!!” teriaknya.
“Ada apa cu? tenanglah cu tenanglah!!!!!” sepertinya sesuatu telah terjadi pada Cucuku.
“Rumahku hilang Kek!!! Hujan tiga hari ini membuat tanah di pegunungan murka Kek. Longsor membabibuta penduduk desa. Bapak hilang entah kemana.”
Penduduk kocar-kacir bagai pasir yang diaduk dengan tanah. Mungkin gunung telah lelah melihat kelakuan manusia sekarang.
Aku terbaring dalam lamunan.
“Lihatlah Buk, alam telah membalas apa yang dulu mereka katakan.”
Apa yang bisa aku perbuat? semuanya telah terjadi.
“lihatlah perbuatan cucu-cucu kita pak, sungaimu kini dipenuhi sampah. Mengalir bagai kereta api yang membawa kotoran manusia.”
Kehidupan yang sangat berbeda. Kesibukan manusia bukan karena alam. Namun, kemewahan. Tanpa memperdulikan kehidupan alam. Mereka sudah tak menghiraukan sakit yang alam rasakan.
Dua hari kemudian, kejadian dahsyat itu terulang kembali. Longsor terjadi dimana Cucu-cucuku tinggal. Banjir bandang menerjang rumah cucu-cucuku. Angin topan menghantam rumahku. Istriku yang saat itu tertidur lelap tak tertolongkan.
Semuanya telah hilang, kini aku hanya sebatang karang. Anak-anakku mati karena terjangan longsor di bukitan. Cucuku terseret banjir bandang. Istriku diterkam pohon yang tumbang.
“Tuhan, maafkan kelakuan kami yang begitu kejam!”
aku berlari menuju pohon tua. Berlari dengan tangisan dan kesengsaraan, menangis bukan karena kehilangan tapi menangis karena kehidupan yang memilukan.
Langkahku terhenti ketika melihat dataran tandus. Tak ada kehidupan sedikitpun terlihat.
“Dimanakah pohon tua itu menghilang?”
Seluas mata memandang tak satupun pohon kudapatkan. Berdiri dalam kucuran derasnya air membasahi bumi.
“Apa yang telah terjadi ?”
Sebatang pohon yang menjulang tinggi. Sayup-sayup ranting yang menari telah hilang. Aku lihat sebatang pahon yang meninggalkan akarnya. Sebuah goresan benda tajam telah melukai pohon tua itu. Bahkan lebih dari melukai. Memutilasi yang lebih tepat. Meninggalkan ranting-ranting di sekitarnya. Aku tak tahu harus berbuat apa. Sungguh tak kuat batin ini melihat keadaan ini.
“Maafkan saya pohon Tua.”
Kepada siapa Aku harus mengadu. Apakah ini jawaban kalian, membabibuta kehidupan manusia. Memutus urat nadi kehidupan yang tak ikut dalam kegelapan. Manusia tak berdosa ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Semua telah terjadi. Di kota sana, kehidupan lebih kejam. Setiap hari lalu-lalang kendaraan menghiasi jalan. Polusi udara tak akan terhindarkan. Pepohonan tak mampu lagi mengolah polusi. Udara sudah busuk. lihatlah sungaimu itu! sepanjang mata memandang hanya sampah yang terhilat. Tangan-tangan manusia sekarang tak selihai Nenek moyang.
Sumber kehidupan yang dulu mengadu nasib pada alam. Sekarang alampun tak mau untuk memenuhi kebutuhan. Bahkan mendengarkan suara manusiapun tak sudi. Manusia alihkan semua kesenangan hidup pada gedung-gedung pencakar langit. Semua telah berubah. Keceriaan alam tak lagi nampak dalam kecerahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H