Mohon tunggu...
Mita Hapsari
Mita Hapsari Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fotonovela, Metode Bercerita dengan Gambar untuk Anak

25 Februari 2016   09:50 Diperbarui: 25 Februari 2016   21:48 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fotonovela adalah istilah tidak baku yang pernah saya gunakan saat mendampingi anak-anak komunitas untuk bercerita tentang foto. Tahun 2002-an, saya pernah mengajak anak-anak di Komunitas Tungkak, yaitu anak-anak pemulung yang tinggal di sekitar Kali Code Yogyakarta. Anak-anak itu dibekali kamera dan mereka diperbolehkan memotret apa saja yang dianggap menarik di lingkungan tempat tinggalnya. Setelah selesai, mereka akan menyeleksi foto-foto tersebut, merangkainya menjadi sebuah foto yang "bercerita". Untuk anak-anak yang bisa menulis, cerita disampaikan melalui tulisan, waktu itu semacam foto caption. Di tingkat komunitas, foto-foto tersebut menjadi salah satu media bagi anak-anak untuk menyuarakan permasalahan mereka di tingkat kampung, khususnya kepada orang dewasa.

[caption caption="Cerita Arya saat kunjungan ke Museum Dirgantara - Yogyakarta (file pribadi)"][/caption]Saat ini, mendampingi Athar (8 tahun) dan Arya (4 tahun), saya bermaksud melatih keterampilan anak-anak untuk menggunakan media gambar dan tulis sebagai "ruang berkomunikasi". Tahap pertama yang saya lakukan adalah membuat semacam program trip reguler/berkala. Trip yang saya pilih kali ini adalah museum to museum (M to M). Kenapa museum? Simpel. Museum di Jogja jumlahnya puluhan, banyak sekali. Sayang kalau bertahun-tahun tinggal di Jogja, tapi tidak pernah mengeksplornya. Pertimbangan kedua, museum adalah salah satu tempat sarat ilmu dan informasi. Selalu memiliki media peraga secara visual yang lebih menyenangkan untuk proses belajar anak. Dan yang ketiga, ini mungkin paling penting, karena orang tua juga perlu belajar "melihat" tempat-tempat yang lebih sarat ilmu. Maklum, saya sendiri juga tidak terbiasa pergi ke museum. Orang tua juga wajib belajar dong, tidak hanya menyuruh anaknya untuk mencintai museum.

Sebagai stimulus awal, saya memilih museum yang terjangkau (dekat rumah), murah meriah, dan menyenangkan buat anak (laki-laki, khususnya), misalnya museum kereta di Keraton Yogyakarta, Museum dirgantara di komplek AAU dekat rumah, museum de-mata (museum karya-karya tiga dimensi/trick eye, museum anak kolong tangga (berisi berbagai macam dolanan anak), dsb.

Saat masuk museum, anak saya bekali dengan kamera. Ia boleh memotret obyek apa pun yang ia suka. Tidak lupa saya menstimulus anak untuk mendapatkan informasi melalui tulisan di obyek tersebut, bertanya kepada penjaga museum. Pada tahap ini, anak belajar untuk memotret dan akan terlihat pola interest anak saat di museum. Ia akan belajar tentang teknis kamera. Anak akan belajar untuk berani bertanya. Saya belum menargetkan bahwa anak bisa menyerap informasi tertulis, karena di tahap awal perhatiannya lebih tercurah pada visual object.

Sampai di rumah, hasil bidikan kamera akan digelar. Anak melakukan proses seleksi gambar. Untuk jumlahnya bisa didiskusikan bersama anak. Proses diskusi biasanya berkisar: teknis gambar (cukup mewakili, blur/tidak), pilihan gambar (apakah anak bisa bercerita melalui gambar tersebut). Keputusan terakhir tetap berada di pihak anak. Jadi, jangan tersinggung ya para orang tua apabila gambar narsis keluarga yang kita anggap bagus banget tapi ternyata disingkirkan oleh anak.

Proses seleksi gambar selesai. Anak diminta mengurutkan hanya untuk memudahkan (bahasa lainnya: lebih sistematis) anak bercerita. Untuk anak yang sudah bisa baca-tulis, ia bisa melakukan sendiri. Tapi pendampingan tetap harus dilakukan. Tujuannya supaya bisa menstimulus anak untuk menuliskan apa yang ia lihat dan ia pikirkan. Pertanyaan-pertanyaan pancingan misalnya apa yang ada di halaman museum, berapa jumlah pesawatnya, kamu lihat apa lagi kira-kira, dsb. Saya menyediakan satu kolom ukuran tertentu dan meminta anak untuk berusaha mengisi kolom tersebut dengan teksnya. Bisa jadi anak hanya mengisi dengan teks satu kalimat. Tapi dengan kolom kosong ini anak akan terpancing untuk bercerita lebih banyak.

Saat sudah selesai, anak boleh menghias karya tersebut. Bisa dengan membingkai gambar dengan warna-warni. Bisa dengan mengubah font menjadi lebih menarik dan berwarna. Jangan lupa meminta anak untuk membuat judul cerita. Ini akan melatih anak untuk berpikir dari detail ke holistik.

Setelah anak konfirmasi bahwa karyanya sudah selesai, di-print, dan yang paling penting adalah meletakkan di dinding atau lokasi yang mudah diakses orang untuk membaca karyanya. Anak akan senang melihat hasil karyanya dinikmati banyak orang dan lambat laun harapannya adalah memunculkan semangat baru untuk terus berkarya dan membangun rasa percaya dirinya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun