Konon katanya, orang indonesia paling ikhlas itu kalo membuang sampah. Ikhlas banget buang sampah dimana aja. Ternyata nggak cuman anak-anak -yang menurut orang dewasa belum banyak tahu, tapi justru orang dewasalah yang ikhlas buang sampah sembarangan. Saya pernah naik motor boncengin dua anak saya di belakang. Ditengah macetnya lalu lintas, mobil disebelah saya tiba-tiba buka kaca jendela dan si embak cantik dengan entengnya membuang tissue di jalan. Tepat di bawah kaki saya. Saya langsung melongo ngeliatin polah si embak itu. Karena ada anak-anak yang juga melihat, saya langsung menangkap momen tersebut untuk menjelaskan pada mereka bahwa itu salah satu perbuatan yang tidak boleh ditiru.
Teman saya pernah cerita melalui blognya, sewaktu ibunya berhaji. Dalam perjalanan transit di bandara-bandara internasional, sudah jamak terjadi, sebuah publik space langsung kotor dengan sampah berserakan setelah dihuni oleh rombongan asal Indonesia. Buat yang aware dengan masalah sampah ini, tentu saja malu berat bila kedapatan menjadi bagian dari rombongan tersebut.
Cerita lain lagi dari almarhum kakak ipar saya, seorang aktivis lingkungan yang penuh dedikasi. Atas inisiatifnya, ia bersama-sama dengan keluarganya dan relawan-relawan membersihkan sungai ciliwung yang mengalir di bogor dari sampah-sampah yang dibuang dengan ikhlasnya oleh orang-orang yang tinggal di sepanjang bantaran sungai. Berbulan bahkan bertahun-tahun ia melakukan gerakan moral ini dan berharap menggugah kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Saat ini, kita sudah mulai mengalami peningkatan. Dari kampanye 'jangan buang sampah sembarangan' menjadi 3R : reduce, reuse, recycle. Kurangi sampah, gunakan berulang, dan daur ulang sampah. Sekarang juga mulai marak perkumpulan ibu-ibu berdaya mendirikan bank sampah atau membuat kerajinan-kerajinan berbasis sampah. Ini perkembangan yang bagus. Bisa dimulai dari rumah masing-masing. Tapi proses ini memang harus sinergi antara si pembuat sampah (rumah tangga) dengan pengambil sampah rumahan, pengolah sampah, pengepul, dll.
Di Swedia, sistem pembuangan sampah malah sudah berjalan dengan sangat apiknya. Swedia bahkan mengimpor sampah dari negara-negara tetangganya karena kekurangan sampah di negaranya sendiri. Ini membuktikan bahwa manajemen pengelolaan sampahnya sudah sangat baik sekali. Dan mengapa harus mengimpor ? Karena untuk memenuhi program Sampah-Menjadi-Energi (Waste to Energy).
Bicara tentang sampah, jangan pernah kita jijik atau menghindarinya dan menganggap sebagai sesuatu yang buruk. Dalam sebuah buku spiritualism yang pernah saya baca, dalam sampah juga memuat keindahan Tuhan. Melalui sampah kita belajar bahwa tuhan menciptakan keseimbangan hidup yang teramat sempurna. Coba bayangkan kalau kita tidak pernah membuang sampah-sampah dalam tubuh kita serupa keringat, feses, air kencing, dsb. Seorang teman yang divonis sakit berat bahkan sampe menangis mendengar suara orang kencing di kamar mandi. Karena ia sendiri sudah tidak bisa lagi kencing secara alami, harus dibantu dengan alat tertentu. Indahnya sampah. Indahnya membuang sampah. Indahnya membuang racun-racun dalam tubuh kita.
Dalam kehidupan, masalah yang muncul silih berganti ibarat sampah. Kita tidak pernah menginginkan masalah dalam hidup kita, tapi ia terus menghampiri dan hinggap dalam tubuh kita, hingga berwujud pikiran-pikiran yang berat atau perasaan-perasaan sakit hati, sedih, kecewa, dsb. Kita inginnya selalu bahagia, tapi siapa sangka terkadang kita diberi tangisan sedih.
Membuang sampah permasalahan hidup itu bisa diibaratkan dengan keluhan. Sekali lagi, banyak orang dengan ikhlas membuang sampah masalah hidup sembarangan. Saat kita mendapat masalah, kita merasa sudah yang paling berat menanggung beban hidup. Kita sudah merasa paling sengsara nasibnya. Kita bersikap reaktif dengan mengumbar keluhan ke semua kenalan kita. Jaman sekarang bahkan jaman medsos. Saking reaktifnya (beda ya antara reaktif dan responsif), kita tidak sabar membuang sampah itu di medsos. Walhasil membuat orang-orang di friend list atau follower-nya melongo-longo. Persis seperti saya melongo melihat si embak cantik dengan entengnya membuang sampah di jalan raya, public space, tepat di depan mata saya.
Kalau kita bisa menciptakan 3R untuk mengelola sampah-sampah materi. Maka seharusnya kita juga bisa menerapkan prinsip tersebut dalam mengelola sampah-sampah kehidupan batin kita. Tahap awal adalah reduce artinya mengurangi sampah. Diartikan dengan mulai mengurangi pikiran-pikiran negatif yang tidak perlu dan mulai lebih sering membangun pikiran-pikiran positif. Pikiran negatif ibarat sampah bau yang kita gendong kemana-mana. Semakin banyak semakin berat.  Kalau sudah berat, pasti ingin dibuang. Please, jangan buang sampah sembarangan apalagi di media sosial yang bertebaran seolah-olah orang bebas ‘membuang’ apa saja disana. Please don’t.  Kurangi saja sampah kita.
Reuse atau menjadikan permasalahan-permasalahan yang muncul sebagai pembelajaran yang berulang-ulang. Inilah saat kita melakukan kontemplasi sehingga bisa menangkap makna-makna yang terkandung dalam sebuah masalah. Dalam satu masalah biasanya memuat banyak pembelajaran, misalnya belajar sabar, belajar menahan diri, dsb. Tapi latihan harus dilakukan berkali-kali.
Dan terakhir recycle, artinya kita mengolah sampah. Mengolah permasalahan hidup yang kita hadapi menjadi sesuatu yang bermanfaat dan mengandung nilai bagi orang lain. Dengan bermodal pada kemampuan akal sehat kita dan kepedulian terhadap sesama, sebenarnya kita bisa melakukan itu. Grafiti atau mural-mural yang indah di sudut kota, misalnya, bisa menjadi salah satu contoh proses tersebut. Berangkat dari sebuah kegelisahan terhadap permasalahan, sang seniman berkontemplasi dan mengeluarkan sampah batinnya menjadi sebuah karya yang indah dan bisa dinikmati banyak orang. Melalui coretan kuas berbentuk mural itu pesannya tentang kebaikan tersampaikan pada masyarakat luas. Bukan lagi cacian, kemarahan, makian, ibarat sampah-sampah yang berserakan di jalanan.