[caption caption="Cover book"][/caption]Enam belas tahun yang lalu, disela-sela obrolan ringan tentang anak-anak marginal di sudut-sudut kota Yogyakarta, seorang teman merekomendasikan buku Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela ini sebagai buku yang patut dibaca. Waktu itu kami sedang bekerja sama membuka klinik kesehatan gratis pada kelompok-kelompok anak jalanan. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut tentang isi buku tersebut.
Tapi sejak saat itu, nama Totto-chan sudah menempati salah satu sudut memoriku. Dan tahun lalu, tiba-tiba mataku tertumbuk mendapati buku ini terselip di salah satu rak display sebuah toko buku. Pasti ia sedang mengalami masa cetak kesekian kalinya, pikirku. Aku segera membelinya. Membacanya hingga tuntas dan .. jatuh cinta pada setiap kisah dan sudut pandang yang dituliskannya. Aku juga jatuh cinta pada penggunaan bahasanya yang sederhana tapi menyentuh hati. Aku berpikir, Tetsuko Kuroyanagi –sang Totto-chan- ini adalah gadis Jepang yang sangat beruntung.
Buku itu berbentuk memoar dengan tebal 272 halaman. Sang penulis bercerita tentang pengalaman masa kecilnya. Seorang gadis kecil yang susah dipahami oleh orang dewasa. Kelakuannya dinilai mengesalkan dan tidak seperti anak pada umumnya. Ia kerap berdiri di pinggir jendela saat guru sedang menerangkan pelajaran di depan kelas, membuka-tutup laci meja puluhan kali setiap hari hanya karena senang hingga mengganggu konsentrasi yang lain saat sedang belajar. Guru-guru di sekolah sudah menyerah menghadapi Totto Chan kecil.
Mereka memutuskan untuk mengeluarkan Totto-chan dari sekolah tersebut karena dinilai tidak mampu mengikuti aturan dan cara belajar di sekolah. Tapi tidak halnya dengan kepala sekolah di Tomoe Gakuen. Pertama kali memasuki sekolah barunya, sang kepala sekolah, meminta Totto-chan bercerita tentang dirinya dan ia tahan mendengarkan hingga empat jam! Sebagai tanda bahwa ia memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat dunia anak. Sejak saat itu, dunia kecil Totto-chan mulai berubah.
Kekuatan buku ini terletak pada sosok Kepala Sekolah Dasar Tomoe, Sosaku Kobayashi, seorang visioner yang sangat mencintai anak-anak. Bukti kecintaannya diwujudkan dalam mengelola sekolah dengan konsep yang antimainstream pada masa itu. Secara fisik, antimainstream ini tertangkap melalui visualisasi gerbong-gerbong kereta sebagai ruang-ruang kelas untuk belajar.
Di Indonesia, gerbong bekas identik dengan sekolah-sekolah informal yang didirikan swadaya masyarakat untuk anak-anak jalanan. Tapi di tangan sang kepala sekolah, gerbong ini menjadi kekuatan visual yang ingin mempertajam konsep pendidikan yang diusungnya yaitu : belajar itu menyenangkan. Totto-Chan adalah salah satu murid yang terkesima sekaligus melonjak kegirangan saat mengetahui sekolah barunya memiliki kelas-kelas berupa gerbong kereta api. Visualisasi ini menstimulus imajinasi anak dan daya kreativitasnya meloncat keluar.
Saya jadi teringat sebuah pengalaman mendampingi sekolah-sekolah di kaki Gunung Merapi. Konsep pendampingan yang diusung pada saat itu adalah menempatkan anak sebagai subyek kegiatan dengan melibatkan mereka secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan, hingga monitoring dan evaluasi. Saat berkegiatan, peran utama orang dewasa adalah sebagai fasilitator yaitu memfasilitasi ide-ide atau gagasan anak bisa keluar dan berkembang. Namun seringkali faktor ruang juga menjadi salah satu penyebab tersendatnya gagasan atau kreativitas untuk berkarya. Ruang kelas didesain oleh pihak sekolah untuk menyampaikan materi secara searah, dari guru kepada murid. Murid tidak terbiasa untuk aktif bertanya, berani menjawab, atau bahkan memberikan gagasannya. Maka, saat kami membawa konsep yang berbeda dalam ruang kelas tersebut, mereka kesulitan beradaptasi. Pikiran dan keberanian seperti terkunci untuk mengeluarkan gagasan atau melakukan sesuatu yang sifatnya out of the box. Akhirnya kami segera berinisiatif memindahkan kegiatan tersebut keluar ruangan. Kami memanfaatkan teras-teras, tepi sungai, lapangan berumput, dsb demi mendapatkan keberanian dan ide-ide anak-anak. Melalui hal ini, nampak bahwa bangunan ruang secara fisik sangat mempengaruhi kemampuan anak untuk mengembangkan gagasan, ide-ide, keberanian, dan semangat belajar yang akan berbeda hasilnya. Mengusung sebuah gerbong kereta sebagai ruang belajar sekolah formal pada masa itu adalah sebuah loncatan ide yang segar dan menyenangkan untuk anak-anak.
Stimulus lain adalah adanya gerbong tambahan di sekolah tersebut untuk dijadikan perpustakaan. Dalam keterbatasan pendanaan dsb, sang kepala sekolah tetap berupaya untuk membuka akses informasi terhadap anak melalui kegemaran membaca. Antusiasme anak-anak di sekolah Totto-chan sudah dimulai sejak mendengar rencana tentang sebuah gerbong tambahan untuk perpustakaan. Beramai-ramai mereka menginap di sekolah supaya bisa menonton gerbong baru itu datang di malam hari.
Antusiasme berlanjut saat gerbong baru mulai di isi dengan buku-buku. Mereka berdesakan tidak sabar ingin menikmati buku-buku tersebut, berlatih membaca, membacakan untuk anak yang lebih kecil, berbicara tentang isi buku, dsb. Konsep pendidikan sekolah ini benar-benar menempatkan anak sebagai subyek setiap kegiatannya.
Peraturan dibuat dengan sangat dinamis menyesuaikan kondisi dan situasi anak-anak sehingga nyaris seperti tidak ada peraturan sekolah. Para pendidik berkomunikasi dengan anak-anak menggunakan hatinya, sehingga penyelesaian masalah menjadi sangat kasuistik, berbeda-beda. Anak menjadi nyaman beraktivitas dan menjadi dirinya sendiri.
Mereka dibebaskan memilih mata pelajaran yang disukai untuk dipelajari pada hari itu. Mereka memberi judul khas untuk setiap kegiatan yang dilakukan (makan siang bersama dengan ‘santapan dari laut dan darat’). Pendidik menerima dengan terbuka ide atau gagasan apapun dari anak, misal membuat lagu-lagu untuk sekolah, dsb.