Madrasah Ibtidaiyah (MI) GUPPI Tanen, sebutan untuk salah satu sekolah dasar yang berada di wilayah Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dengan kondisi geografisnya merupakan daerah yang termasuk KRB III (paling rawan) dari ancaman bencana erupsi Gunung Merapi. Dengan kata lain, bencana erupsi Gunung Merapi merupakan ancaman permanen bagi guru maupun anak-anak yang berada disekolah tersebut.
Memasuki kantor guru, akan disambut senyum ramah Pak Sutrisna, pria berumur 41 tahun yang tinggal di Dusun Gintung, Desa Kalibening, Kecamatan Dukun, sebuah desa yang terletak dibawah Desa Ngargomulyo. Beliau menjabat sebagai Kepala Madrasah sejak 1 tahun yang lalu. Saat berdiskusi tentang program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Sekolah (PRB-BS) November 2011 lalu, bapak yang sehari-hari mengajar ilmu Fiqih ini langsung antusias menjalankan gagasan program tersebut disekolahnya. “Selama ini Kami tinggal di wilayah yang sering terjadi bencana gunung berapi. Anak-anak Kami memiliki hak untuk mendapatkan pengetahuan tentang PRB ini” demikian alasannya sewaktu ditanya tentang semangatnya terhadap program ini.
[caption caption="Upaya anak-anak lebih tangguh menghadapi risiko bencana di sekitarnya"][/caption]Saat program berakhir di bulan Maret 2012, Pak Sutrisna berbagi kesan di acara Sosialisasi Hasil Program PRB-BS, bersama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Magelang dan jajaran UPT, Pengawas dan guru lain. “ Sebelumnya, Kami tidak pernah membayangkan sama sekali bahwa anak didik bisa dilibatkan saat proses erupsi terjadi. Setahu saya dulu, anak-anak hanya manut (menurut, red), disuruh lari ya lari. Tapi ternyata anak-anak mampu mengurus dirinya sendiri. Misalnya menentukan jalur evakuasi, apa yang harus dipersiapkan dan kemudian anak berbagi peran. Itu adalah pesan moral bagi guru. Apabila anak-anak sudah mampu terlibat dalam upaya kesiap-siagaan, apakah para guru akan meninggalkan sekolah dan anak didiknya saat erupsi terjadi di jam sekolah ?”
Beliau juga tidak menyangka, anak-anak didiknya yang tinggalnya terpencil di gunung, cah ndeso (anak desa-red) dikenalkan dengan kemajuan teknologi, yaitu membuat film. Mereka diajak membuat skenario sendiri dan mengoperasikan alat-alat tersebut. Ia merasa bangga anak-anak didiknya berhasil mengoperasikan alat alat tersebut dengan lancar dan membuat satu film tentang PRB di sekolah. Hal ini menambah keyakinannya bahwa ternyata anak-anak yang tinggal di lereng merapi pun memiliki potensi apabila digali dengan sebaik-baiknya.
Pak Sutrisna juga mengemukakan kesannya saat diajak diskusi bersama dengan guru-guru dari sekolah dasar lain tentang upaya guru untuk memasukkan materi PRB kedalam mata pelajaran. “Kami sebelumnya agak pesimis, mengingat alokasi pelajaran yang sudah diberikan harus diselipi dengan materi tentang kebencanaan. Tapi ternyata itu bisa. Sampai-sampai kami dilatih oleh pusat Kurikulum Jakarta untuk menyisipkan materi kebencanaan kedalam mata pelajaran”
Diakhir katanya, ia menekankan bahwa sebagai guru dan pendidik, orang dewasa tidak berhak merampas hak anak untuk mendapatkan pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana di sekolah. Pesan ini sekaligus juga menjadi pesan bagi orang-orang dewasa lainnya, bahwa ketika anak sangat antusias terhadap pengetahuan baru yang bermanfaat, hendaknya orang dewasa juga terbuka untuk menerima perubahan yang positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H