Hingga hari ini, isu-isu terkait kesetaraan gender telah mendapatkan perhatian luas oleh sebagaian Masyarakat di era modern. Gender merupakan sebuah konstruksi sosial dan kultural yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Namun, isu kesetaraan gender tersebut bertentangan dengan stereotip masyarakat yang masih menganggap bahwa perempuan adalah sosok feminim yang bersifat lemah, anggun kemudian laki-laki identik dengan maskulin yang bersifat gagah, macho, dan kuat.
Seorang filsuf Perancis, Louis Althusser (Fatma, 2012) menyatakan bahwa ideologi tidak hanya berada dalam tataran konsep, tetapi juga memiliki eksistensi material, contohnya kepercayaan Masyarakat terhadap stereotip perempuan sebagai makhluk yang patut dinikmati keindahannya dan menjadi sebuah objek. Laki-laki dianggap normal sebagai pihak yang mendominasi, dan Perempuan dianggap normal untuk melayani laki-laki, anggapan imajiner masyarakat tersebut direalisasikan dalam kehidupan nyata berbentuk media daring, cetak, iklan dan berbagai institusi yang berjaring kapitalisme.
Apabila dilihat dengan lensa gender, dimana dunia yang dihuni saat ini merupakan suatu tatanan kehidupan yang berstruktur patriarki (Asadi, 2010; Hasyimet al., 2011; Akman, 2013; Meyer & Barnard, 2015).
Tatanan tersebut melanggengkan seluruh aspek kehidupan yang tanpa sadar atau tidak sadar telah memproduksi berbagai macam bias pada gender, dimana tatanan itu tidak hanya mengorbankan Perempuan saja, Buchbinder (2013) menandaskan bahwa bias gender dapat merugikan laki-laki meski hanya segelintir saja.
Artikel ini akan membawa pemahaman kita untuk memahami gender dalam berbagai aspek kehidupan dan mencari tahu bagaimana untuk tidak terpaku pada bingkai struktur patriarki.
Kesetaraan Gender dengan Pemahaman Maskulinitas Hegemonik, Apakah itu?
Tergambar jelas di sebuah kutipan yang saya dapat ketika membaca jurnal tentang Gender oleh seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fatma Andina. Kutipan tersebut berasal dari catatan kaki dalam buku Arief Budiman. Catatan kaki yang diambil dari buku Masculine/Feminine karya B. Roszak & T. Roszak (ed.) yang diterbitkan tahun 1969 oleh Harper Colophan Books, menjelaskan bahwa “Laki-laki memerankan peran laki-laki. Wanita memerankan peran wanita. Laki-laki memerankan peran laki-laki karena wanita memerankan peran wanita. Wanita memerankan peran wanita karena laki-laki memerankan peran laki-laki. Laki-laki memerankan peran laki-laki karena itu yang diharapkan oleh wanita yang sedang memerankan peran wanita. Wanita memerankan peran wanita karena itu yang diharapkan laki-laki yang sedang memerankan peran laki-laki.” Kutipan tersebut seperti paradoks yang sengaja dibuat untuk perempuan dan laki-laki yang terjebak dalam sebuah stereotip hingga terjadi adanya peran Maskulinitas Hegemonik pada tiap individu.
Ada berbagai macam kategori Maskulinitas yang teridentifikasi oleh Raewyn Connel, salah satunya merupakan Konsep Maskulinitas Hegemonik sebagai konfigurasi praktik gender yang mendominasi laki-laki dan subordinasi perempuan. Maskulinitas Hegemonik dianggap kategori yang paling dominan dalam seluruh tatanan gender yang ada.
Contoh Maskulinitas Hegemonik
Seperti yang sudah tertulis bahwa Maskulinitas Hegemonik memberi dampak pada keduanya. Perempuan contohnya dalam kehidupan keluarga, dimana perempuan sering kali dianggap sebagai orang yang harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kesehatan laki-laki dan memastikan kebutuhan makan dalam keluarga terpenuhi.
Berbagai studi memberikan pernyataan singkat terkait adanya perlakuan opresif yang terjadi. Salah satunya yang dilakukan oleh Arief Budiman dalam bukunya ‘Pembagian Kerja Secara Seksual’ (Jakarta: Gramedia, 1981). Sejak dulu, perempuan telah ditempatkan dalam ranah domestik dan laki-laki dalam ranah publik. Ini membuat perempuan tidak bisa mengembangkan dirinya. Sementara laki-laki bisa mengembangakan diri, karena dunia yang dinamis menuntutnya untuk terus mengaktualisasikan diri.
Contoh kasus pada Maskulinitas Hegemonik, ketika laki-laki mengalami masalah terkait kesehatannya yang mengakibatkan laki-laki tampak perlu menyembunyikan kondisinya karena khawatir dianggap lemah atau tidak cukup “macho”. Kondisi ini cukup umum terjadi di lingkungan sekitar kita, dimana laki-laki enggan menunjukkan kelemahan mereka bahkan ketika sedang sakit atau melami gejala emosional seperti stress atau depresi.
Selain itu, tindakan menyembunyikan kondisi kesehatan dan memposisikan laki-laki sebagai figur yang kuat, menjadikan laki-laki terjebak pada Maskulinitas Hegemonik atau merasa kehilangan rasa “kejantanan”.
Sangat mudah mencari benang merah seperti apa laki-laki diberi label oleh masyakat maupun media bahwa “Laki-laki sejati adalah laki-laki yang kuat”. Maskulinitas Hegemonik ini secara bersamaan tidak hanya memarjinalkan perempuan, melainkan laki-laki yang tidak atau kurang ideal, laki-laki dengan status sosial-ekonomi rendah, disabilitas fisik, dan mengalami
kerentanan fisik ataupun penuaan.
Bagaimana Perempuan dan Laki-laki tanpa terjebak Bingkai Struktur Maskulinitas?
Sebagai penulis, saya berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki masih lebur dalam Maskulinitas Hegemonik karena struktur budaya yang telah ada sejak lama. Kebanyakan masyarakat menjadikan kaum perempuan sebagai bidak catur dalam Maskulinitas Hegemonik, hal ini berlaku juga pada laki-laki.
Saya lebih menekankan kata perempuan, karena kita tidak bisa menutup mata bahwa hanya segelintir masyarakat termasuk media yang mulai berperan aktif untuk memberikan realitas gender yang positif. Jika perempuan terus menerus digambar dalam peran memasak, mencuci, atau bersih-bersih rumah maka akan membuka ruang keyakinan dalam masyarakat bahwa memang betul perempuan lebih cocok di ranah domestik.
Perbedaan gender yang hadir pada tatanan masyarakat ini merupakan sesuatu yang bisa diciptakan, dan identitas gender merupakan sesuatu yang terus-menerus dibentuk.
Sikap yang perlu dilakukan sebagai upaya dalam merespon Maskulinitas Hegemonik adalah dengan memperjuangkan keseimbangan (menghapus ketimpangan gender), memberikan kesempatan yang sama pada kedua gender untuk mencapai kesetaraan dan keadilan.
Bentuk dari sikap yang kita lakukan menjadi wujud kepedulian terhadap berbagai aktivitas yang mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara umum.
Sudah saatnya bagi kita untuk mendobrak dan melawan tantangan yang dibangun oleh stereotip gender. Tidak ada sesuatu yang khas dari perempuan ataupun laki-laki selain alat kelamin. Jika berbicara perihal Profesi, Hobi, Fashion, dan lain-lain, itu merupakan sebuah variabel bebas yang dapat dimilikki oleh siapapun. Lelaki menangis bukan berarti lemah, perempuan yang berani bicara bukan berarti melawan ataupun tidak sopan.
Perempun dan laki-laki bukanlah manusia yang hidup sebagai bidak catur, melainkan menjadi pemain catur itu sendiri. Kita dapat terlepas dari bingkai struktur patriarki bukan hanya karena kita mampu, melainkan karena kita mau.
Saya berharap tulisan ini dapat membuka pikiran masyarakat dari berbagai macam sudut pandang, sehingga bingkai struktur maskulinitas juga budaya patriarki yang selalu ikut andil mengambil peran kita dalam kehidupan bermasyarakat dapat meredup secara perlahan.
Hormat saya selaku penulis, Mita Fauziyah Pratiwi. Mahasiswa Fakultas Psikologi Semester 7 Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (UNTAG), sedang menempuh Mata Kuliah luar prodi Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (Komunikasi dan Gender) dengan dosen pengampu Dr. Merry Fridha Tripalupi., M.Si
Referensi
Rahminawati, N. (2001). Isu kesetaraan laki-laki dan perempuan (bias gender). Mimbar: Jurnal Sosial Dan Pembangunan, 17(3), 273-283.
Drianus, O., Meitikasari, D., & Dinata, R. (2019). Hegemonic Masculinity: Wacana Relasi Gender dalam Tinjauan Psikologi Sosial. Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity, 1(1), 36-50.
Qosyasih, N. N. S., Amirullah, A., & Sari, Z. (2023). Hegemoni Maskulinitas: Konstruksi Gender pada Pendidikan Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 7(1), 479-490.
Fatma, A. D. D. (2012). Laki-Laki dan Perempuan dalam Bingkai Struktur: Isu Gender dalam Film Billy Elliot. Jurnal InterAct, 1(2), 21-27.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H