Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai jumlah penduduk yang sangat banyak (peringkat ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia) dan semakin hari, jumlah penduduk Indonesia makin bertambah. Hal ini kemudian juga berpengaruh pada kepadatan penduduk di kota-kota besar di Indonesia, salah satunya Surabaya.
Seperti yang kita tahu, Surabaya merupakan kota dengan kepadatan penduduk terbesar kedua setelah Jakarta. Menurut data dari BPS, jumlah penduduk Surabaya mencapai angka 3,5 juta (tahun 2010) dengan perbandingan luas wilayah sekitar ± 32.637,75 Ha hal ini tentu tidak sesuai. Apalagi secara umum rata-rata pertumbuhan penduduk Kota Surabaya mencapai 1,003% per tahun.
Salah satu pemicu terjadinya kepadatan penduduk yang tinggi di Surabaya adalah urbanisasi. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Salah satunya masalah ketenagakerjaan dan pengangguran.
Hal yang mendorong masyarakat untuk melakukan urbanisasi itu sendiri sebenarnya perlu dipertanyakan, sebab sebagian besar masyarakat yang melakukan urbanisasi memiliki tujuan bisa mendapat kehidupan yang layak. Namun apa itu benar??? Hal tersebut juga perlu dipertanyakan. Seperti yang kita tahu, masalah pengangguran terbesar ada karena urbanisasi. Hal tersebut sudah selayaknya menjadi pertimbangan seseorang saat akan melakukan urbanisasi. Bayangan kota akan memberikan jaminan hidup yang lebih baik itu juga perlu dikaji ulang. Banyak orang yang pindah ke kota dengan alasan yang sama, yakni mencari pekerjaan, namun apakah skill yang kita punya sudah cukup, itupun perlu dipertanyakan, sebab di kota persaingan yang akan kita hadapi jauh lebih besar dan berat. Ditambah lagi jumlah lapangan pekerjaan yang ditawarkan semakin sedikit.
Timbulnya niat untuk pindah dari desa ke kota seseorang biasanya mendapat pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya. Di desa mayoritas pekerjaan adalah bertani dan ada pula yang berternak. Namun sebenarnya petani juga seorang wirausaha. Seorang wirausaha adalah orang yang mempunyai objek usaha, peralatan dan keahlian sehingga hasilnya juga langsung dinikmati individu yang bersangkutan. Sedangkan pekerja adalah seseorang yang hanya mengkontribusikan tenaga dan keahlian kepada yang memberi pekerjaan dengan mengharapkan imbalan. Fenomena yang terjadi dalam pasar tenaga kerja di Indonesia menunjukkan fakta bahwa tenaga kerja untuk mengharapkan upah justru lebih diminati. Masyarakat kita tampaknya lebih senang menjadi pekerja ketimbang menjadi wirausaha.
Bertani dianggap bukan sebagai lapangan pekerjaan yang menjanjikan hasil yang pasti, tetap dan memuaskan bagi masyarakat desa. Bertani mempunyai risiko gagal panen atau harga hasil panen anjlok. Apalagi petani di Indonesia tampaknya selalu dirundung malang, dari kelangkaan bibit, pupuk dan pestisida, serangan beras impor, musibah kekeringan, kebanjiran atau serangan hama wereng datang silih berganti. Tenaga, modal dan waktu yang telah dikorbankan dalam bertani dianggap tidak sepadan dengan hasilnya. Sehingga banyak pemuda desa menganggap bertani bukanlah sebuah pekerjaan yang menjanjikan. Apalagi jika mereka mendengar tentang keberhasilan para perantau dari kota, maka dorongan urbanisasi itu kian memuncak.
Namun tidak bisa kita pungkiri, urbanisasi juga memiliki beberapa dampak positif, apabila para pendatang mempunyai kemampuan atau keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat kota, ataupun yang dibutuhkan oleh industri-industri yang banyak berkembang di kota. Dengan demikian hal tersebut akan membawa dampak positif terhadap para pendatang dan para pelaku usaha atau pemilik industri dan masyarakat perkotaan pada umumnya karena pertumbuhan ekonomi perkotaan akan ikut meningkat. Selain itu, urbanisasi juga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi di kota apabila didukung oleh para pendatang yang mampu membuka usaha-usaha baru yang belum pernah ada sebelumnya di kota. Hal tersebut tentu saja harus didukung kemampuan untuk dapat membaca kesempatan yang ada dan mengelolanya sehingga dapat terwujud tujuan tersebut. Misalnya banyak para pendatang membuka usaha kuliner khas daerah (restoran atau rumah makan), usaha kerajinan, dan sebagainya.
Tetapi dari uraian diatas, dampak negatif akibat urbanisasi lebih mendominasi. Pertumbuhan jumlah penduduk yang signifikan akibat urbanisasi menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Terbatasnya lapangan pekerjaan dan tingginya persaingan di kota besar menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran. Tidak adanya keahlian dan sedikitnya kaum pendatang yang memiliki modal yang cukup untuk membuka usaha di kota mengakibatkan meningkatnya tindakan kriminalitas. Terbatasnya tempat tinggal mengakibatkan munculnya banyak rumah kumuh tidak layak huni yang membuat tata letak kota menjadi berantakan dan tidak tertata dengan baik. Apalagi banyak pendatang ini yang kemudian mendirikan gubuk-gubuk liar di pinggiran sungai dan rel kereta api yang merupakan daerah hijau yang tidak boleh ditempati. Para pendatang tentunya akan menghadapi tantangan atau hambatan untuk hidup di kota. Mereka akan bersaing dengan masyarakat kota, dan tentu juga dengan sesama pendatang. Gaya hidup masyarakat perkotaan yang individualis, diakibatkan oleh persaingan yang ketat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya membuat mereka tidak peduli dengan sesamanya.
Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian arus urbanisasi dari pemerintah kota maupun pemerintah desa, perlu diadakan penyuluhan kepada seluruh masyarakat tentang segala sesuatu yang bersangkutan dengan urbanisasi. Harus ada peraturan yang tegas, terutama di daerah kota tujuan urbanisasi tentang tata kota dan kependudukan. Pemerataan pembangunan di seluruh wilayah juga dirasa perlu agar tidak adanya ketimpangan antara desa dan kota, seperti pembangunan sarana dan prasarana, jalan, saluran irigasi, sekolah, puskesmas dan pasar. Pemerintah juga perlu membuat kebijakan baru tentang ketenagakerjaan, seperti adanya bantuan kredit bagi masyarakat pedesaan untuk membuka usaha di daerah masing-masing, memperluas dan mengembangkan lapangan kerja dan tingkat pendapatan di pedesaan, sehingga dorongan penduduk desa untuk berurbanisasi ke kota dapat berkurang.(Mita Ayu Dwi Jayanti – Mahasiswi Planologi ITS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H