Dalam dunia psikologi, menjaga kerahasiaan identitas dan informasi klien sangat diperlukan. Hal ini juga termasuk pada saat pendidikan dan/atau pelatihan yang berkaitan dengan psikologi. Etika tersebut juga diungkapkan pada Pasal 41 kode etik psikologi yang membahas mengenai kewajiban seorang psikolog untuk menjaga kerahasiaan informasi pribadi peserta pendidikan dan/atau pelatihan. Adanya pasal tersebut memungkinkan bagi klien untuk dapat merasa aman dan nyaman untuk terbuka dalam membicarakan masalah pribadi mereka.
Namun, pasal tersebut masih menimbulkan perdebatan antar psikolog. Hal ini dikarenakan sebagian psikolog berpendapat bahwa tranparansi dan keterbukaan suatu masalah dapat meningkatkan keefektifan suatu pendidikan dan/atau pelatihan. Namun, di satu sisi para psikolog juga mengkhawatirkan adanya pelanggaran privasi. Sehingga hal tersebut masih menjadi dilema mengenai bagaimana cara psikolog agar tetap seimbang antara melindungi privasi peserta pendidikan dan/atau pelatihan dan memenuhi tanggung jawab psikolog untuk dapat memberi layanan pendidikan dan/atau pelatihan yang efektif.
Sebagai contoh, terdapat suatu pendidikan dan/atau pelatihan mengenai konseling terhadap penderita yang memilki trauma berat terhadap masa lalunya. Salah satu sesi pelatihan tersebut, psikolog memberikan ruang diskusi secara sukarela bagi peserta untuk berbagi pengalamannya apabila ada yang pernah menjadi penyintas trauma berat di masa lalu. Salah satu peserta pendidikan dan/atau pelatihan tersebut pernah menjadi klien dan merupakan penyintas trauma berat masa lalu. Peserta tersebut ingin berbagi mengenai pengalamannya dan bagaimana cara dirinya mengatasi hal tersebut. Pada konteks tersebut, tentunya pengalaman yang diberikan peserta tersebut tentu dapat menjadi ilmu yang berharga bagi peserta lainnya. Namun, psikolog harus memperhatikan dan mempertimbangkan faktor etika seperti kerahasiaan peserta, kenyamanan, pertimbangan tujuan, sensitivitas, dan dukungan emosional.
Pada kasus tersebut, psikolog memberi ruang diskusi untuk mendukung pembelajaran dan pemahaman peserta. Psikolog juga perlu memberi apresiasi atas keberanian pesertanya karena telah membagikan pengalamannya yang dapat dijadikan sebagai contoh asli dan dapat membantu kefektifan proses pendidikan dan/atau pelatihan. Namun, di sisi lain psikolog juga perlu memastikan setiap peserta memberi empati dan dukungannya terhadap peserta lain, serta tidak menyebarluaskan informasi pribadi yang didapatkan selama proses pendidikan dan/atau pelatihan dalam konteks lain di luar kegiatan tersebut.
Refleksi atas Pasal 41 dalam Kode Etik Psikologi untuk menghadapi dilema antara melindungi privasi peserta pendidikan dan/atau pelatihan atau memenuhi tanggung jawab psikolog untuk dapat memberi layanan pendidikan dan/atau pelatihan yang efektif adalah dengan adanya komunikasi yang terbuka antara psikolog, peserta, dan pihak terkait lainnya dalam pendidikan dan/atau pelatihan tersebut. Adanya komunikasi yang terbuka, yaitu dengan memberikan pemahaman yang jelas mengenai tujuan dari pengungkapan informasi tersebut dapat menjadi suatu kerangka etika yang dapat saling dipahami dan dihormati. Oleh karena itu, untuk menghadapi permasalahan etika mengenai privasi dan transparansi untuk proses pendidikan dan/atau pelatihan yang efektif, psikolog dituntut untuk menjadi penilai yang bijaksana. Dengan demikian, keseimbangan yang tepat juga dapat tercipta antara memenuhi tanggung jawab profesional dan melindungi informasi pribadi peserta pendidikan dan/atau pelatihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H