SEMENTARA SAKTI meninggalkan Hutan Besar, gong dari Menara Naga sebelah timur dipukul tiga kali.
Di ufuk utara dari Pulau Nyiurmelambailambai, satu titik hitam yang sebelumnya muncul dari balik lengkung langit perlahan-lahan membesar dan membentuk bayangan kapal. Semakin mendekat, semakin jelaslah bentuknya. Bendera merah pada ujung tiang utama bergambar pohon kelapa. Itulah bendera Nyiurmelambailambai.
Kapal dagang milik Nyiurmelambailambai itu tidak bisa langsung sandar. Tidak ada tempat. Dermaga penuh sesak. Setelah salah satu kapal melepas tambat, menjauh dan melempar sauh, baru kapal milik Nyiurmelambailambai itu bisa bersandar.
Segera setelah kapal dagang itu bersandar, sang nakhoda tergesa-gesa turun bahkan sebelum rampa dipasang. Para pekerja pelabuhan heran melihat tingkah sang nakhoda yang setengah berlari menuju kesyahbandaran.
Perhatian para pekerja pelabuhan lekas teralihkan begitu rampa dipasang. Dengan sigap mereka menyambut muatan yang dibongkar awak kapal dan mengangkutnya ke gudang pelabuhan. Iringan para pekerja terlihat seperti iringan semut, mengalir tidak putus-putus.
Tidak lama berselang, datanglah seorang pegawai kesyahbandaran. Sedikit terlambat. Maka kalang kabutlah dia mencatat aliran barang yang turun dari kapal.
Rempah-rempah merajai muatan kapal itu. Dan tidak butuh waktu lama seluruh muatan berpindah dari lambung kapal ke gudang pelabuhan.
Sesudah reda hiruk pikuk di kapal yang baru datang itu, seorang awak kapal muda menuruni kapal dengan membawa barang yang terlihat berat. Orang muda itu adalah Konda. Ketika menginjakkan kaki di dermaga, dia berhenti sejenak. Pandangannya menyapu seluruh kawasan pelabuhan.
"Seperti seharusnya....," gumamnya, lantas mulai melangkah.
Konda tidak mampir kemana-mana, dia langsung menuju desa. Rumah Sitok tepatnya. Kedatangannya tidak disadari Sitok yang tengah sibuk menempa.