Mohon tunggu...
Aloysius G Dinora
Aloysius G Dinora Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Menyicil Semangat Menulis yang Pernah Hilang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa Makna dibalik “Maaf Uangnya Receh” dan “Maaf Tangan Kiri”?

20 Oktober 2015   10:03 Diperbarui: 20 Oktober 2015   10:05 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam beberapa transaksi baik di warung makan, warnet, fotocopy sampai parkiran saya akrab dengan sebuah kalimat pendek “Maaf Uangnya Receh”. Hal ini tidak hanya terjadi pada saya tapi juga beberapa teman. Selain itu saya juga akrab dengan kalimat pendek lain yaitu “Maaf Tangan Kiri” ketika si penjual tangan kanannya sibuk dan “terpaksa” menggunakan tangan kiri untuk memberikan jualannya. Fenomena ini membuat saya menjadi reflektif dan memulai pertanyaan yang membatin pada diri saya yaitu “Apa salahnya dengan tangan kiri atau uang receh?”.

Bukankah keduanya memiliki fungsi dan dibutuhkan pada saat yang berbeda bagi masing-masing orang? Sebut saja tangan kiri, bagi mereka yang kidal yaitu kecenderungan menggunakan tangan kiri, tentu kebutuhan dan kegunaan tangan kiri mendominasi kegiatan sehari-hari dan bahkan dapat menggambarkan secara tersirat kecerdasan tertentu yang dimiliki oleh individu bersangkutan. Sama halnya dengan uang, orang tentu sangat amat tertarik dengan nominal uang yang besar. Tapi tunggu dulu, masing-masing uang menurut saya pada dasarnya memiliki fungsi yang sama dan hanya dibedakan oleh nominal saja.

Bayangkan ketika uang di dompet semua hanya ada seratus ribu, sedangkan kondisinya harus membayar parkir bertarif lima ribu. Tentu pengguna jasa parkir kesulitan, apalagi jika penjaga parkir tidak punya kembalian. Poin utamanya adalah penggunaan uang atau tangan bukan saja dilihat dari apa yang kelihatan namun bagaimana fungsi secara keseluruhan. Ada rasa kecewa pada beberapa pihak yang menghargai hanya uang yang besar saja dan celakanya anak-anak yang belum merasakan sulitnya mencari uang pun kadang menganggap remeh nominal tertentu uang, misalnya “ah yang hilang Cuma lima ribu aja, nanti tinggal minta ke mama”.

Sama halnya dengan penggunaan tangan kiri, yang dipandang dalam beberapa budaya sebagai tangan “jorok” dan tidak sopan jika digunakan dalam beberapa situasi. Kadang hal ini membawa diskriminasi bagi mereka yang cenderung menggunakan tangan kiri, walaupun diskriminasinya tidak kentara. Misalnya beberapa fasilitas di bangku kuliah yang mejanya hanya nyaman digunakan oleh mereka yang bertangan kanan. Hal ini semakin diperparah dengan budaya kebanyakan di Indonesia yang menekankan penggunaan tangan kanan dalam berbagai hal.

Saya teringat tayangan Kick Andy dalam episode ulang tahunnya, mengatakan kurang lebih seperti ini: Sedih ya melihat bangsa ini, dimana kemasan lebih dihargai dari konten atau substansi. Orang-orang berpakaian mewah menggunakan mobil lebih dihargai ketimbang orang-orang yang hidup sederhana. Padahal belum tentu yang sederhana hidupnya tidak lebih baik dibanding orang-orang dengan hidup mewah. Saya sendiri kagum dan setuju dengan dengan pernyataan Andy F Noya ini, seolah menjelaskan inspirasi datang dari mana saja, bukan hanya dapat dilihat dari orang-orang besar saja.

Terus apa hubungan antara pernyataan Andy ini dengan kasus uang receh dan tangan kiri? Memang tidak ada hubungan langsung yang terlihat, namun jika ditelisik lebih dalam ternyata hal ini menggambarkan beberapa kebiasaan dari masyarakat kita. Dimana lebih cepat memberikan judge terhadap yang kelihatan tanpa menyelami hal yang tidak terlihat. Sama halnya seperti uang receh yang dianggap lebih baik dibanding uang nominal besar dan tangan kanan yang lebih baik dibanding tangan kiri. Padahal makna atau esensi selalu ditemukan dari apa yang tidak terlihat. Bukankah kita sering mendengar kekaguman dari orang-orang disekitar kita, ketika mendengar seseorang menjadi pejabat atau memegang jabatan penting di sebuah perusahaan.

Sebaliknya terkesan meremehkan atau menganggap biasa guru-guru pedalaman yang mengajar dengan tulus ikhlas, atau memandang rendah petugas kebersihan baik dijalan maupun di kantor-kantor. Dikampus saya cleaning service menjadi “jagoan” yang dikagumi karena kebersihan yang mereka hadirkan. Padahal yang paling penting bukan posisinya namun apa yang dilakukan. Negarawan dikenang karena karyanya, namun tidak semua pejabat menjadi negarawan beberapa diantara mereka jatuh dan menyalahgunakan kekuasaan. Artinya adalah esensilah yang harus ditekankan, cover memang penting, tapi tidak lebih penting dari kontennya.

Begitu pula dengan uang receh atau tangan kiri, masing-masing diadakan untuk memenuhi kebutuhan. Tangan kanan sama pentingnya dengan tangan kiri, uang receh juga tetap uang tanpa perlu meminta maaf jika memberikan kembalian uang receh. Maka membiasakan diri untuk melihat secara keseluruhan menjadi penting, agar tidak terjebak melihat sesuatu yang kasat mata saja, sehingga menghargai berbagai hal yang kadang lupa kita perhatikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun