"Makasih ya Djie, kau.. k kau sudah setia..."
Sssshhh... Reka memalingkan muka sambil menyemburkan nafas panjangnya. Tak habis pikir mengapa jadi begitu canggung pada Djie, yang seharusnya sudah biasa ada di tiap hari-harinya. Tak sengaja ia mendongak lalu melihat awan mendung tipis yang bergerak malas, yang buat surya senja yang sejak tadi mengintip perbincangannya jadi hilang untuk sementara.
Oh inikah namanya senjakala? Dimana dunia mengerling dalam heningnya, beburungan terbang dengan segera, dan sang bayu memeluk dengan mesra? Ah, aku tak mengerti, kenapa Djie? Kenapa? Akuh.... Reka lagi-lagi tak bisa menatap lekat, pun menyambung kata maupun jawab. Hanya butiran-butiran malam yang jatuh yang berani ditatapnya.
"Makasih ya Djie, kau.. k kau sudah setia..." Reka berbisik lirih lagi sambil mengangkat cangkir kecil penuh dengan kopi arabika. Direguk, disesap, direguk, disesap, lalu diletakkan dengan hati-hati di atas meja kayu.
"Hai, tidak perlu seperti itu, biasa sajalah"
"Djie?" Reka memalingkan mukanya. Sebentuk kabut tipis dilihatnya membentuk gambaran jawaban kelembutan dari proyeksi kerendahan hati Djie. Langkah-langkah ringan menjauh, mengambil sisi pojok dan menghamburkan kabut yang lebih tebal. Dua tiga langkah kemesraan menghampirinya, seperti hari-hari dulu dalam terjal bebatuan di atas bukit yang merona.
"Djie? Kau kah itu?"
"Ya, ya, ini aku"
Sssshhh... Reka menyorongkan mukanya sambil menyemburkan nafas panjangnya dan Djie menjadi kabut yang tebal membumbung ke atas langit-langit, awan, bebintangan... dan....
"Mbak? Mbak? Maaf, mau nambah kopinya?" seseorang membubarkan lamunan Reka.