" Tanggal tiga September , Widia nikah. Calon suaminya pengusaha lho "
"Si Dewi Anaknya Pardi nikah tanggal sepuluhnya "
"Intan nanti malam katanya lamaran ya Bu?"
"Eh Ibu-Ibu pada tahu gak? Si Widia itu kan cewek matre. Dia katanya udah bosen ama tentara. Makanya cari pengusaha. Bosen hidup miskin kayaknya "
Tiga orang perempuan saling bergosip. Semua saling memberi komentar. Hanya satu yang terdiam. Dengan tenang perempuan itu mengupas kencur. Sedangkan yang lain membersihkan beras. Dan mengelap daun pisang. Mereka menyiapkan tumpeng nasi kuning untuk 17 Agustus.
Sumi menahan air matanya agar tidak jatuh. Sulit sekali. Apalagi mendengar para gadis sudah menemukan jodohnya. Anak gadisnya belum juga menikah. Usianya sudah 30 tahun.
Anaknya tulang punggung keluarga. Bekerja jauh di negeri Jiran Malaysia. Perempuan itu hanya mengelus dada. Ketika para tetangga meremehkan anak gadisnya, Marni.
"TKI aja gaya. Pake kuliah segala "
Tapi anak gadisnya itu bercita-cita tinggi. Hidup tak hanya mengejar materi. Begitu ucap Marni suatu hari. Ibu mana yang hatinya tidak marah. Tetangga kanan kirinya meledek. Percuma sekolah tinggi. Laki-laki takut dengan gadis pintar. Susah diatur sama suami. Gampang melawan. Perempuan setengah abad itu hanya menutup telinga. Dia yakin, Marni tidak seperti itu.
Sumi merasa pengorbanan Marni sudah cukup. Rumah mereka sudah layak. Sebuah motor matic juga sudah ada. Gelang dan beberapa cincin menghias tangannya. Mau mencari apa lagi di Malaysia.
Sumi tidak mengerti jalan pikiran anaknya. Bukankah lebih baik segera kembali ke kampung. Membuka warung dengan tabungan yang disimpan. Tak perlu lagi repot menjadi pelayan toko disana. Sekarang malah kuliah.
Pernah suatu kali, Sumi khawatir. Jika perempuan telat menikah. Nanti rahimnya kering. Tidak bisa hamil. Anak gadisnya hanya tersenyum lalu menjawab santai. Selama perempuan datang bulan rutin. Insha Allah tidak ada masalah. Lagi pula sekarang ada bayi tabung. Harganya tidak mahal. Seharga DP Mobil Karimun.
Sumi hanya perempuan tamat SD. Semakin sulit memahami jalan pikiran Marni. Dia merasa Marni salah makan. Karena pikirannya tidak bisa ditebak. Apalagi bayi tabung. Kedua matanya hanya menatap tabung gas elpiji tiga kilo. Warnanya hijau. Apa warna bayinya juga begitu. Lemas tubuhnya.
Suara ponsel mengagetkan dirinya. Buru-buru dijawab telepon dari anak gadisnya.
***
Malam ini Sumi mengenakan kebaya terbaik. Wajahnya sumringah. Senyum menawan dan anggun. Dia mengajukan diri untuk membawa tumpeng. Di ujungnya berdiri bendera merah putih mini.
Malam 17 Agustus. Hatinya merdeka. Merah putih berkibar di dadanya. Dibawanya tumpeng itu menuju meja dekat podium. Tempat Pak RT akan memberi sambutan. Melewati anak-anak kecil yang berbaris rapih. Memegang bendera kecil merah putih di kedua tangan. Hati Sumi mengharu biru.
Perempuan itu diijinkan Pak RT untuk naik ke podium. Memberi kabar kepada seluruh warga RT sebelas bahwa Marni akan segera pulang. Anak gadisnya telah lulus kuliah. Dan akan segera dilamar oleh laki-laki dari negeri Jiran. Calon menantunya adalah teman kuliah Marni. Dan yang lebih membanggakan. Calon menantunya adalah mantan sopir penyanyi terkenal di Malaysia. Hati Sumi tiba-tiba berdendang.
Hendaklah hendak hendak ku rasa Ahai Sayang
Puncaknya gunung Hendak di Tawan
Tidaklah tidak tidak Ku daya Ahai Sayang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H