"Tapi, saya masih terlalu muda Prof. Lagipula saya perempuan. Tidak mungkin saya yang memimpin !"
"Tanpa "tapi" Â Marin. Ini perintah ! Kamu adalah asistenku yang paling cerdas. Cuma kamu yang bisa aku andalkan. Selamatkan hasil kerja keras kita. Bangsa Aryah. Lagipula siapa yang melarang perempuan jadi pemimpin ? Kamu harus tahu satu hal. Ini semua karena salahku"
"Maksud Prof ?"
"Obat yang aku kirim kepada mereka, bukan ekstrak yang seharusnya. Hasil persilangan spesies lain.  Obat itu bukan ekstrak  rubellus.
"Apa maksud Prof ? Kenapa melakukannya ? Semua ini mengancam reputasi Prof ! "
"Aku tahu Marin. Reputasiku lebih baik hancur. Ini semua demi bangsa kita. Dari awal menteri kesehatan telah bermain dengan tender ini. Dia menekan kami semua para ilmuwan untuk bekerja keras memenuhi permintaan obat untuk kanker. Padahal obat itu belum sepenuhnya efektif. Terpaksa kami setujui. Harapan kami , sebagian hasil penjualan digunakan untuk dana riset. Delapan ribu Marin. Kita punya 8000 jenis cacing. Rubellus hanya satu dari 8000. Masih banyak jenis lain. kita belum tahu senyawa apa di dalam tubuhnya. Tapi dasar koruptor !"
Profesor menggebrak meja. Pandangannya tajam penuh dengan amarah. Dia berjalan menuju jendela. Menarik nafas panjang dan melanjutkan kata-katanya.
"Aku yakin ekstrak rubellus bukan satu-satunya yang dapat membunuh sel kanker. Lagipula ekstrak ini  belum efektif. Hanya sebagian sel yang mati. Sebagian sel yang lain menjadi kebal. Ada senyawa dahsyat yang dapat mengisolasi sel kanker. Menghambat pertumbuhan ke bagian tubuh yang lain. Tugasmu menemukan satu diantara 8000. Bisa jadi galur murni. Atau persilangan. Tapi rubellus sudah membunuh setengahnya"Â
***
Aku melewati ruang kaca Profesor Sahadewa. Guru Besar yang sangat aku kagumi. Pasukan Dasyun semakin mendekat. Dia meminta Kapten Anusatyam untuk membawaku ke tempat tersembunyi. Di sebuah pulau terpencil. Di dalam hutan. Tugas berat menungguku. Menemukan satu diantara ribuan. Tidak sedikitpun Professor menengok ke arahku. Aku ingin bertahan disini. Memberontak. Tapi kapten menarik lenganku. Aku menahan tangis dalam bisu. Nafasku memburu. Bibirku bergetar. Setengah berbisik aku memanggil namanya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H