Aku menyapu bekas-bekas serpihan lampu neon yang baru saja jatuh hampir mengenai kepalaku. Kali ini aku bersyukur, kepalaku masih aman-aman saja dan kuputuskan untuk menulis tulisan lagi. Tak ada yang spesial untukku pada senja, kecuali kelinci kesayanganku yang mati pada ‘Iedul Adha tiga tahun lalu. Kelinci itu bernama Senja. Berwarna abu-abu dan lincah. Teman senja bernama Embun, berwarna putih dengan belang abu-abu.
Aku sudah lupa mengapa menamakan kelinci kesayanganku dengan nama Senja.
Boleh jadi saat itu aku memiliki sebuah kenangan dipenghujung senja.
Kenangan yang juga boleh jadi tak pernah kuharapkan.
Bagiku, senja tak lebih dari fenomena alam. Semburat lembayung orange-nya memang begitu memukau mata. Bahkan, sesekali membuat kita menarik napas memandanginya perlahan-lahan berganti warna menjadi merah dilangit yang berawan. Terkadang, kita juga bertanya-tanya, adakah sesuatu yang tersembunyi dibalik gurat indah memesona yang kita beri nama ‘senja’?
Aku perlahan menyadari, meski aku lebih menyukai shubuh dibandingkan senja, bahwa senja merupakan titik waktu saat hati kita berkumpul. Mengapa?
Aku sendiri baru tersadar ketika tulisan ini kutuang.
Niat awalku hanya ingin memancing emosi menulisku kembali.
Namun, yang terjadi pada kenyataannya, aku harus menyelesaikan tulisan tak jelas ini.
Hati kita dan hati orang yang kita cintai barulah mungkin berkumpul saat senja menyapa. Ketika ayah, ibu, dan saudara-saudara kita baru saja pulang kerumah sembari melepaskan lelahnya dari kepenatan aktivitas seharian. Disaat-saat seperti itu, barulah ada sapaan lembut ibu, “Baru pulang, ya? Kok lama?” atau perkataan ayah, “Dari mana saja?” atau mungkin sapaan jahil saudara kita, “Bawa makanan, nggak?”
Ya. Hal simpel seperti itu hanya banyak terjadi dipenghujung senja.
Sekali lagi, hal itu simpel. Akan tetapi, seringkali membuat kita bahagia.
Tahulah kita bahwa bahagia itu ternyata mudah.
Disisi lain, hati yang lain juga turut hadir pada penghujung senjanya sendiri.
Seseorang yang hambar cinta dan kasih sayang, perlahan akan menyadari itu juga kala senja menyapa. Ia menyadari kesepian dan kesendiriaannya semakin menjadi-jadi saat senja. Namun diwaktu lain, ia merasa biasa saja.
Dari dua contoh itu, aku menarik satu kesimpulan aneh.
Ternyata penghujung senja memiliki banyak rasa pada satu suasana untuk setiap orang.
Namun, masih sedikit yang menyadari.
Mereka hanya mengetahui bagaimana cara menikmati senja dengan cara yang mereka sukai. Melihat matahari tenggelam, memandang keluar jendela, sibuk mengarungi macet dijalanan saat pulang, atau hanya menikmati penghujung senja itu dengan kartun kesukaan kita sepanjang masa, koki berwarna kuning, berbentuk kotak, dan memiliki teman berbentuk bintang berwarna merah muda.
Ada banyak. Termasuk diriku yang menikmati penghujung senja sambil menghitung titik-titik rahmat Allah yang membasahi kepalaku senja ini. Hari ini, esok dan seterusnya, senja takkan selalu sama untukku dan untuk kita. Hal terbaik yang mampu kita lakukan hanya berusaha membuat senja kita lebih bermakna dengan banyak-banyak becermin dan mengingat kesalahan dan memahami hal-hal baru yang kita pelajari hari itu. Esok akan ada, in syaa Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H