Boleh jadi teguran untuk diri sendiri.
Tak bisa kupungkiri, hampir setiap hari aku membuka akun facebook-ku ini. Meski begitu, tak berarti aku sering update status terbaru tiap jam atau dua kali dalam satu jam. Update status bagiku hanya berkisar ingin membagikan sesuatu yang tidak terlalu penting dan tidak menimbulkan decak keheranan orang-orang, minimal tidak menimbulkan komentar usil, atau sekedar membagi sesuatu yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Tak lebih.
Beberapa waktu lalu aku tertawa sendiri memandang isi timeline facebook-ku. Akunku tercatat mulai digunakan pertama kali pada Mei 2009. Kebanyakan teman-temanku saat itu bukan orang Indonesia. Aku sendiri melihat perkembangan akun milikku dari waktu ke waktu, cukup membuatku ternganga sembari menyadari bahwa aku pun pernah mengalami masa seperti teman-temanku alami, meski tidak separah mereka.
Apa maksudnya?
Ya. Melek Teknologi. Menjadikan facebook sebagai berkeluh kesah. Beberapa dari teman-temanku yang mungkin sempat dinasehati malah membantah dengan sinis bahkan menyatakan, “Ini hak asasi kami sebagai pemilik akun! Sebaiknya Anda mengurusi diri Anda dahulu lalu mengurusi kami!”
Kawan, apa perkataan si ‘Galauers’ facebook itu bisa kita terima jika kita lah yang menasehati?
Lantas, apa kita membenarkan dalih si Galauers facebook jika kitalah yang menjadi dirinya?
Benar. Bimbang, jawabannya!
Ini menurutku bagaikan lingkaran setan yang tak berujung jika kita telah menyangkutkan Status galau berkeluh kesah, hak asasi pengguna facebook, dan kewajiban muslim untuk menasehati saudaranya.
Sejujurnya, inilah salah satu dari sedikit tulisanku yang pembahasannya mengambang, namun sebisa mungkin kurangkai untuk kubagikan. Mengingati itu semua sudah benar-benar menyesakkan, terlebih aku sendiri pernah mendengar orang-orang mencela beberapa Galauers facebook yang akunnya berteman denganku.
Bukan maksud hati untuk sinis pada si Galauers, namun ‘Ada Baiknya’, jika kita tak sembarangan memposting keberadaan, keadaan, atau rasa hati kita di facebook. Sebagai ‘Upaya Penyelamatan Diri’.
Ingat, “Upaya Penyelamatan Diri’. Mengapa?
Ya. Boleh jadi akun facebook-mu yang selama ini selalu menemanimu melewati hari dengan berkeluh kesah menjadi bumerang untuk dirimu sendiri. Orang yang berniat jahat terhadapmu, saat mengetahui engkau sendirian dirumah melalui status-status galau dan lebay-mu itu, bisa jadi datang menyatroni rumahmu untuk melakukan tindak kriminal. Atau boleh jadi ada penguntit gila yang mencegatmu dijalan karena mengetahui engkau sedang berjalan-jalan di Pusat Perbelanjaan seorang diri ‘tanpa ditemani mahram’ katamu di status-statusmu itu.
Masih inginkah engkau meng-update status-mu dengan menuliskan bahwa engkau baru saja mengalami musibah berupa perampokan atau pelecehan seksual jika itu semua terjadi?
Di dunia nyata yang menjadi dampak akibat dari ‘ke-eksis-anmu’ di dunia maya.
Khususnya, para wanita.
Kita selama ini mungkin berdalih, “Ini cuma didunia maya. Namanya juga ‘Maya’ artinya ‘Samar’. Kita bebas berekspresi disini. Itu hak kita sebagai manusia. Tak banyak yang akan tahu kita itu siapa.”
Kawan, bukannya meremehkanmu. Diriku akan mengakui satu hal yang mungkin menjadi rahasiaku sejak dulu. Aku bisa saja menjebakmu, berpura-pura menjadi laki-laki, merayumu, atau bahkan memberikan perasaan cinta yang juga ‘samar’ sesamar dunia maya ‘katamu’.
Sejujurnya, aku (penulis) pernah berbuat seperti itu satu kali!
Aku melakukan itu pada sahabatku sendiri, membuatnya penasaran dan perhatian terhadapku, dan ternyata ia mengetahui aku perempuan saat aku dipaksa bertemu dengannya di dunia maya. Syukurlah, sahabatku itu juga menganggapnya lelucon, tapi sedikit menyakiti hatinya.
Aku berkata seperti ini, bukan karena sok tahu, namun berdasarkan pengalaman pribadi.
Lebarnya hijabmu mampu melindungimu. Ya, itu ‘katamu di statusmu’. Tak dipungkiri itu berfungsi di dunia nyata, tapi tidak di dunia maya, Kawan.
Sekali lagi, tidak!
Engkau sendirilah yang merobek kehormatanmu ketika meng-upload fotomu, meski berhijab lengkap disertai wajah yang tertutup kain, membeberkan kejadian dan bentuk lahirmu di status facebook-mu. Kit tak bisa menyalahkn laki-laki jika kita-lah, para wanita, yang memulai. Hingga kasus peng-upload-an foto itu berujung pada komentar, “Ukhti, matamu indah sekali. Memancarkan beningnya hatimu yang senantisa tunduk dihadapa Rabb,”
“Berhati-hatilah dalam membeberkan urusanmu dan hal pribadimu pada orang lain baik secara langsung ataupun melalui jejaing sosial. Boleh jadi, mereka akan memanfaatkan hal tersebut untuk menyerangmu dikemudian hari.”
Nah, kembali ke topik utama.
Untuk orang-orang yang sempat jengah dan kesal ketika nasehatnya tidak diindahkan oleh para Galauers, tak mengapa. Kewajiban kita telh terlaksana ketika kita menasehatinya, ia juga telah mendapatkan haknya untuk dinasehati sebagai saudara kita. Tak perlu jengah. Tak usah kesal. Percayalah, orang yang ketika dinasehati kebenaran dan dia ingkar, maka ia adalah orang yang sombong.
Si Galauers juga benar, “Perbaikilah dirimu dahulu,”
Bukankah itu juga nasehat, Kawan?
Ia memenuhi hak kita dan kewajibannya dalam hal menasehati saudara. Mungkin sudah saatnya kita berhenti menyemangati orang lain jika kita sendiri lupa untuk menyemangati diri kita sendiri.
Pada penghujung, aku sendiri bingung ingin merangkai penutupnya dengan paragraf apa.
Tak Tahu Mau Apa.
~Penuh Semangat Menapaki Kebaikan~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H