Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera bagi kita semua, shalom, om swastiastu. Namo buddhaya, salam kebajikan.
Apa kabar para pembaca yang budiman? Semoga Kesehatan dan keberkahan selalu menyertai kita semua, aamiin.
Pada kesempatan kali ini saya akan memaparkan Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Modul 2.2 yaitu tentang Pembelajaran Sosial Emosional . Jurnal refleksi ini saya tulis sebagai media untuk mendokumentasikan perasaan, gagasan dan pengalaman serta praktik baik yang telah saya lakukan selama mengikuti proses Pendidikan Guru Penggerak ( PGP ) Angkatan 7. Refleksi merupakan bentuk evaluasi terhadap diri sendiri dalam memaknai sebuah kejadian. Dan saya akan memaparkannya dengan menggunakan Model 5: Connection, challenge, concept, change (4C). Model ini dikembangkan oleh Ritchhart, Church dan Morrison (2011). Model ini cocok untuk digunakan dalam merefleksikan materi pembelajaran. Ada beberapa pertanyaan kunci yang menjadi panduan dalam membuat refleksi model ini, yaitu:
1) Connection: Apa keterkaitan materi yang didapat dengan peran Anda sebagai Calon Guru Penggerak?
2) Challenge: Adakah ide, materi atau pendapat dari narasumber yang berbeda dari praktik yang Anda jalankan selama ini?
3) Concept: Ceritakan konsep-konsep utama yang Anda pelajari dan menurut Anda penting untuk terus dibawa selama menjadi Calon Guru Penggerak atau bahkan setelah menjadi Guru Penggerak?
4) Change: Apa perubahan dalam diri Anda yang ingin Anda lakukan setelah mendapatkan materi pada hari ini?
Baiklah, kita bahas satu persatu ya, C yang pertama adalah Connection. Materi pembelajaran sosial emosional dalam modul 2.2 ini sangat menarik bagi saya, menarik untuk dipahami dan diterapkandalam kegiatan pembelajaran yang saya laksanakan setiap hari. Kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang dapat mencerminkan kepribadian seseorang yang dewasa, arif dan berwibawa, mantap, stabil, berakhlak mulia, serta dapat menjadi teladan yang baik bagi peserta didik. Adapun kompetensi sosial merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru untuk berkomunikasi dan bergaul dengan tenaga kependidikan, peserta didik, orang tua peserta didik, dan masyarakat di sekitar sekolah. Pertanyaannya, apakah ada keterkaitan atau koneksi materi PSE dengan peran saya sebagai calon guru penggerak? Ya tentu saja ada kaitannya dong ya. Seperti yang kita ketahui bahwa peran guru penggerak yaitu menjadi pemimpin pembelajaran, mengerakkan komunitas praktisi, menjadi coach guru lain, mendorong kolaborasi antar guru, dan mewujudkan kepemimpinan murid. Tentunya untuk menjalankan peran kita tersebut diperlukan kompetensi kepribadian dan sosial yang matang. Kedua kompetensi ini dapat dikembangkan dengan pembelajaran sosial emosional. Pembelajaran sosial emosional memberikan pemahaman pada saya bahwa menjadi seorang guru itu bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja pada murid, melainkan sebagai guru kita harus mampu mengenali diri, memanajemen emosi serta perilaku, berempati pada orang lain, menjalin hubungan yang sehat, dan mampu untuk menentukan pilihan secara bertanggung jawab. Hal ini juga dapat kita terapkan pada murid dalam pembelajaran di kelas atau dengan rekan sejawat kita. Penerapan PSE baik di kelas atau di sekolah dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman baik di kelas maupun di sekolah. Hal ini tentunya dapat meningkatkan kompetensi akademik dan kesejahteraan psikologis (well-being) murid secara optimal. Jika seorang guru penggerak mampu meningkatkan KSE yang ada pada dirinya sendiri, kemudian guru tersebut juga menerapkan PSE dan meningkatkan KSE murid-muridnya, saya yakin tujuan pembelajaran akan mudah dicapai dan terlaksana dengan mudah.
Selanjutnya adalah C yang kedua, yaitu Chalenge. Paat saat alur EP (elaborasi pemahaman) yang dipandu oleh Ibu Twi Endah Kurniyanti pada tanggal 6 Maret 2023 pukul 15.30-17.00, saya mendapatkan banyak pencerahan terkait materi pembelajaran sosial emosional. Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh beliau bahwa sebagai seorang guru kita harus dapat menyadari emosi yang ada dalam diri kita serta mampu menempatkannya dengan baik. Materi modul ini sangat menantang untuk saya praktikkan untuk saya yang sering masih belum bisa menempatkan emosi baik di kelas maupun di rumah. Saya masih kesulitan untuk bisa melakukan mindfulness. Saya sering tidak bisa fokus dan hadir secara utuh dalam satu kegiatan yang saya hadiri, raga saya dimana dan pikiran saya kemana-mana. Namun, setelah sesi elaborasi, kita diajak untuk berlatih midfulness, sedikit demi sedikit saya sudah mulai bisa berdamai dengan hati dan pikiran untuk fokus pada apa yang dihadapi saat itu. Salah satu teknik yang saya gunakan untuk melatih mindfulness yaitu dengan teknik STOP. Teknik ini sangat bermanfaat sekali untuk orang-orang yang mempunyai kesulitan untuk fokus atau berkonsentrasi atas apa yang sedang dikerjakan sekarang, agar tidak mengkhawatirkan masa depan ataupun terus-menerus meratapi perasaan penyesalan di masa lalu.
Untuk C yang ketiga adalah Concept. Konsep yang saya pelajari dalam modul 2.2 ini adalah tentang kompetensi sosial emosional (KSE) dan kesadaran penuh (mindfulness). KSE meliputi; (1) kesadaran diri yaitu kemampuan untuk memahami perasaan, emosi, dan nilai-nilai diri sendiri, dan bagaimana pengaruhnya pada perilaku diri dalam berbagai situasi dan konteks kehidupan, (2) manajemen diri: kemampuan untuk mengelola emosi, pikiran, dan perilaku diri secara efektif dalam berbagai situasi dan untuk mencapai tujuan dan aspirasi, (3) kesadaran sosial: kemampuan untuk memahami sudut pandang dan dapat berempati dengan orang lain termasuk mereka yang berasal dari latar belakang, budaya, dan konteks yang berbeda-beda. (4) keterampilan berelasi: kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan-hubungan yang sehat dan suportif, (5) pengambilan keputusan yang bertanggung jawab: kemampuan untuk mengambil pilihan-pilihan membangun yang berdasar atas kepedulian, kapasitas dalam mempertimbangkan standar-standar etis dan rasa aman, dan untuk mengevaluasi manfaat dan konsekuensi dari bermacam-macam tindakan dan perilaku untuk kesejahteraan psikologis (well-being) diri sendiri, masyarakat, dan kelompok. Untuk menguatkan kompetensi sosial emosional tersebut, salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan praktik kesadaran penuh (mindfulness). Hawkins (2017:15) menjelaskan bahwa kesadaran penuh itu sendiri dapat diartikan sebagai kesadaran yang muncul ketika seseorang memberikan perhatian secara sengaja/sadar pada kondisi saat sekarang. Dilandasi rasa ingin tahu (tanpa menghakimi) dan kebaikan (dalam) yang sebenarnya telah ada dalam diri manusia secara alami tanpa perlu diajarkan ataupun ditumbuhkan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa praktik kesadaran penuh (mindfulness) bukan sebagai solusi pemecahan masalah, melainkan praktik yang dpat membantu kita dalam menyikapi, memproses, dan merespon permasalahan yang dihadapi untuk fokus pada situasi saat ini - bukan pada kekhawatiran akan masa yang akan datang ataupun penyesalan akan masa yang telah berlalu. Cara yang efektif agar kita memiliki kesadaran penuh adalah dengan 'mengalaminya' sendiri dan berlatih. Menurut saya, konsep-konsep ini penting untuk terus dibawa selama menjadi Calon Guru Penggerak atau bahkan setelah menjadi Guru Penggerak. Guru yang memiliki KSE yang baik tentu lebih efektif dan cenderung lebih resilien/tangguh. Hubungan dengan murid akan terjalin dengan baik sehingga akan tercipta well-being di kelas dan di sekolah. Harapannya jika seorang guru penggerak mampu meningkatkan KSE yang ada pada dirinya, dia juga mampu meningkatkan KSE murid, rekan sejawat dan lingkungan di sekitarnya. Sehingga kehadiran guru penggerak membawa perubahan nyata bagi Pendidikan Indonesia.