Tunjangan Hari Raya (THR), tentunya menjadi apresiasi yang paling dinanti bagi orang-orang yang bekerja di bawah bendera orang lain. Meski mungkin jumlahnya tak banyak, tapi setidaknya bisa menambah pemasukan untuk merayakan hari besar keagamaan. Begitu pun dengan saya, THR adalah salah satu momen bahagia dari jerih payah bekerja. Namun, apa jadinya ketika bagian dari momen bahagia itu hilang?
Minggu lalu, saat sedang menunggu kekasih menjemput untuk makan malam, tiba-tiba hujan menderas. Segera saya putuskan berteduh di pos satpam dekat saya berdiri menanti. Empat orang satpam di pos itu mempersilakan saya duduk dan menawari secangkir kopi. Kopi tubruk buatan pak satpam menjadi perantara kami pada obrolan ringan hingga muncul sebuah kata yang cukup menyentil alir rasa saya: "galau".
"Kami lagi menggalau bersama ni mbak." Ungkap salah satu satpam sambil tetap berusaha ceria. Saya yang tadinya hanyut dalam tawa karena humor mereka, tiba-tiba teringat materi training 7 Habits tentang Empathic Listening.
"Galau?" Respon saya singkat seraya menyiapkan diri mempraktikkan Empathic Listening.
"Kontrak kerja kami diakhiri bulan Juli ini. Dan kalau dari pihak outsourcing belum mendapatkan tempat baru untuk kami, berarti lebaran ini kami bakalan kehilangan THR, mbak... ." Ah, kalimat itu menjadi situasi tersulit saya untuk bersikap. Selanjutnya saya hanya mampu menjadi pendengar yang baik hingga tiba kekasih menjemput. Dan menu makan malam saya kali itu adalah nasi padang berbumbu doa meminta Tuhan limpahkan rezeki bagi orang-orang yang "tercuri" THRnya. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H