Libur sekolah hampir usai. Setelah bergumul dalam kehangatan keluarga di Borneo, akhirnya saya kembali lagi dalam rengkuhan ibu kota tercinta. Pun bisa memanfaatkan akses internet lagi dengan sangat lancar, tanpa lupa membuka kompasiana daaaannn...haru saya tak tertahan. Saya baru memulai membuat akun kompasiana sebulan lalu, namun begitu membuka dashboard, ada 12 permintaan pertemanan. Terima kasih kawan-kawan, senang bisa berteman dengan kalian :D #bighug.
O ya, saya hanya punya tiga oleh-oleh selama liburan di South Borneo:
1. Amplang Barokah, yang bisa diambil di BSD City, he..he.. :D
2. Saya belajar memahami apa yang dirasakan oleh murid ketika belajar di kelas dengan berbagai jenis model pengajaran guru yang berbeda-beda.
3. Saya belajar betapa keluarga adalah "awal" dan "akhir", destinasi ternyaman dalam keadaan apapun.
Saya ingin berbagi dengan teman-teman mengenai oleh-oleh yang kedua. Untuk mengisi waktu luang, salah satu kegiatan yang saya lakukan adalah kursus stir mobil (yang bonusnya mudah mendapatkan SIM A, he..he..). Saya ambil paket termurah, lima sesi, tiap sesi berdurasi satu jam.
Lima kali belajar hal yang sama, saya mendapatkan empat guru yang mengajar dengan teknik berbeda. Guru pertama adalah tipe yang hobi membentak dan marah-marah. Saya lepas kopling kebanyakan sehingga mesin mati, langsung dibentak. Hal yang saya rasakan saat diperlakukan seperti itu adalah, muncul rasa takut dan jengkel (ngedumel dalam hati). Takut karna tiap kesalahan mendapat bentakan.
Guru kedua merupakan tipe yang friendly dan memberi kepercayaan. Begitu masuk mobil dia langsung memperkenalkan diri, menanyakan pula nama saya, lalu beliau memberi kepercayaan saya belajar stir mobil langsung turun ke jalan raya berdampingan dengan truk-truk pengangkut batu bara. Sepanjang belajar, guru ini berusaha membuat saya nyaman dengan ngobrol berbagai hal. Yang saya rasakan saat diperlakukan seperti itu adalah, muncul rasa nyaman dan girang karena secara tidak langsung saat kita diberi kepercayaan, belajar menjadi lebih mudah.
Guru ketiga, sekaligus juga yang ngajarin belajar sesi keempat dan kelima, adalah tipe yang cuek bebek, "nguanyelke soro". Dengan alasan dia menilai saya sudah cukup lancar nyetir (berkat dibentak guru pertama mungkin, he..he..) maka saya dibiarkan terserah mau belajar di seputaran jalan mana. Di perempatan pun dia biarkan saya membuat keputusan sendiri apakah akan belok ke kiri, kanan, lurus, atau putar balik, sementara dia sibuk ngrokok dan telpon (pacarnya, sepertinya). Hal yang saya rasakan saat diperlakukan seperti itu adalah, muncul rasa kesal dan bingung karena sama sekali tidak diberi petunjuk apapun tentang hal selanjutnya yang harus dipelajari.
Guru keempat adalah guru favorit, yaitu ayah saya sendiri :D. Seusai belajar lima sesi, ayah menanyakan hal-hal apa saja yang saya dapatkan selama kursus. Dengan semangat seorang anak bercerita pada orang tua, curhatlah saya tentang ketiga jenis guru tadi. Ayah hanya tertawa. Lalu sore hari beliau mengajak saya menikmati senja di Banjar dengan syarat, saya yang nyetir mobil. Dari awal sampai akhir, tak saya temukan dia membentak atau nyuekin. Justru sangat sabar, memberi kepercayaan, dan mengajari dengan tips-tips yang oke hingga saya lulus SIM A dari guru keempat. Ah, ayah...terima kasih ya #peluuuukkk.
Begitulah, oleh-oleh liburan yang bisa saya bagi, terutama tulisan ini untuk murid-murid tercinta. Sekarang Miss merasakan sendiri apa yang kalian alami ketika belajar dengan berbagai jenis guru yang berbeda tipe mengajarnya. Miss janji tidak akan marah-marah lagi, okay #kelingkingbertaut :D