"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya." __Jejak Langkah_Pramoedya Ananta Toer
Lingkup organisasi terkecil pun, yaitu keluarga, pasti punya peraturan masing-masing. Demikian pula di sekolah saya, salah satu "aturan" itu adalah meniadakan pelajaran Sejarah. Menyikapi hal tersebut, atas inisiatif koordinator mata pelajaran bahasa Indonesia, kami, para guru bahasa Indonesia merintis pembentukan budaya baca pada siswa dengan cara menjadikan novel sebagai buku teks. Lha, terus, apa hubungannya dengan pelajaran Sejarah?
Beberapa novel yang kami gunakan berlatar belakang sejarah. Misalnya roman Arok Dedes, dan novel Bumi Manusia, keduanya karya sastrawan hebat Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Rintisan novel sebagai buku teks ini langsung berdampak tiga hal, yaitu membentuk budaya baca pada siswa, memupuk cinta pada sastra Indonesia, dan mengenal sejarah bangsa melalui karya sastra.
"Selama ini fokus saya selama sekolah hanya berkutat pada pencapaian nilai bagus di bidang science. Tanpa bermaksud menyinggung, terkadang pelajaran bahasa Indonesia jadi prioritas terakhir. Namun sejak tahun lalu, saya jadi semangat lagi tiap menyambut pelajaran bahasa Indonesia sebab novel Arok Dedes dan Bumi Manusia mampu membuka dan menambah cakrawala pengetahuan saya. Bahwa bahasa dan sejarah tak selamanya membosankan." Demikian pendapat salah satu siswa kelas 12 jurusan IPA unggulan.
Merintis budaya baca novel di sekolah, apalagi berlatar belakang sejarah seperti Arok Dedes, tentu saja tidak mudah. Butuh waktu, pastinya. Apalagi ketika di akhir semester, novel itu dijadikan bahan utama pembuatan drama kelas; terseok-seok dalam memahami isi, kadang timbul pertikaian saat berlatih drama, namun pada akhirnya berbuah kebanggaan tersendiri.
Roman Arok Dedes, ketika itu dibaca oleh para siswa kelas 11. Kini, saat mereka naik kelas 12, berganti membaca novel Bumi Manusia. Pembentukan budaya baca yang telah dirintis selama setahun, ternyata cukup membuat kami para guru tersenyum senang. Sebab kini mereka mulai inisiatif untuk membaca bahkan sebelum sang guru ini mendaraskan lagi berbagai nasihat tentang pentingnya membaca sastra sejarah. Lebih terharu lagi, saat beberapa siswa membantu guru untuk merangsang semangat baca bagi teman-temannya yang lain, misalnya dengan memberikan bocoran-bocoran pada bab selanjutnya:
"Ih gila ya ternyata si Annelies tuh diperkosa sama abang kandungnya sendiri!" Kata seorang siswa.
"O ya, di halaman berapa tuh?" Respon teman-temannya sambil membaca skimming isi yang dimaksud.
"Makanya, baca doooonnnggg." Jawab siswa tersebut seraya menjulurkan lidah.
Tentunya tak hanya sekedar membaca. Kami juga menyiapkan pertanyaan-pertanyaan sebagai respon hasil baca, yang mengacu pada kolaborasi ide Benjamin S Bloom dengan Taksonomi Bloom-nya, dan Ki Hajar Dewantara, dengan cipta, rasa, dan karsa-nya.
Begitulah, ketika (pelajaran) Sejarah "terbungkam", (pelajaran) bahasa Indonesia masih mampu menjadi wakil bicara. Sebab hendak terbungkam atau dibungkam seperti apapun, orang perlu mengenal sejarah bangsanya, agar terbetik rasa cinta, supaya mampu bercermin pada masa lalu, kemudian melangkah lebih baik di masa depan.