Mohon tunggu...
Dwi Purwanti
Dwi Purwanti Mohon Tunggu... lainnya -

Iseng is my state of art

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jatuh Cinta Untuk Kedua Kali di Jogja

1 Oktober 2012   00:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:26 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13490506991113759121

[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Berbeda tapi berbaur (dok. Si Eka - Album Pribadi FB)"][/caption]

Jatuh cinta memang berjuta rasanya. Saya pernah merasakannya satu dasawarsa yang lalu ketika pertama kali menginjakkan kaki di Negeri Beton, Hong Kong. Kota yang tak pernah tidur, kota yang bersolek dan bermandikan lampu warna-warni di malam harinya. Kota yang unik, perpaduan peradaban ultra moderen dan warna tradisional Cina yang terjaga baik. Tempat berkumpulnya jutaan orang yang terdiri dari berbagai ras, bahasa, warna kulit dan budaya. Hong Kong yang terus membangun dan memperbaharui wajah tanpa menggilas habis wajah masa lalunya (baca : gedung-gedung tua bernilai historis).

Kota dimana kita dapat temukan perpaduan timur dan barat berdampingan dengan harmonis dan indah. Perpaduan gedung-gedung pencakar langit yang bersanding kontras dengan bukit hijau yang benar-benar dijaga kelestariannya. Di sana pula dengan mudah dapat kita temukan berbagai jenis kuliner dunia yang memanjakan lidah kita terutama bagi petualang kuliner.

Kalau Anda membayangkan Hong Kong hanyalah belantara gedung-gedung tinggi, tahan dulu khayalan  Anda. Hong Kong tak melulu berisi gedung tinggi pencakar langit. Hong Kong juga punya alam yang lumayan indah untuk ukuran pulau kecil yang hampir tak terlihat di peta dunia. Pantai biru berpasir putih atau pun bukit menghijau yang berisi kekayaan ragam flora dan fauna. Saya benar-benar jatuh cinta kepada Hong Kong.

[caption id="attachment_201886" align="aligncenter" width="573" caption="Pemandangan di Tai Tam Reservoir, Hong Kong (dok. Dwi- Album Pribadi FB)"][/caption]

Kemudian beberapa bulan yang lalu saya menemukan cinta baru di tanah air. Jogja… Jogja… telah membuat saya terobsesi. Saya tidak tahan udara siangnya yang panas tapi pesona kota ini benar-benar membuat saya gila. Saya merasakan lagi perasaan yang saya rasakan 10 tahun lalu. Jogja, saya jatuh cinta lagi, untuk kedua kali.

Aura tradisi yang terbalut dalam wajah moderen yang disuguhkan Jogja seperti kesan pertama yang saya rasakan tentang Hong Kong, Jogja tak jauh beda bahkan Jogja lebih memesona. Mungkin karena saya terlalu lama meninggalkan tanah air jadi apapun yang berbau “Jawa” terlihat sangat eksotis dan menarik di mata saya. Sampai logat Jawa orang Jogja pun terdengar indah karena agak berbeda dengan logat Jawa Timuran tempat saya berasal.

Keberagaman juga terlihat jelas di Jogja. Saya masih ingat ketika berjalan di sepanjang Malioboro, di tengah hiruk pikuk pejalan kaki, terdengar teriakan pedagang suvenir dan pakaian dengan bermacam-macam logat daerah. Belum lagi ditambah banyaknya pendatang dengan wajah khas Indonesia timur yang berlalu lalang di sepanjang jalan yang saya lewati. Terasa sekali pembauran di sini. Jogja bagaikan belanga tempat bercampurnya bahan dan bumbu untuk menghasilkan masakan yang lezat. Ya “keberagaman” lah masakan lezat itu, khas Indonesia.

[caption id="" align="aligncenter" width="444" caption="Beragam tapi tetap satu, Indonesia (dok. Bowo Bagus - Album Grup Kampret)"][/caption]

Apalagi alamnya, walau saya belum tuntas menjelajahi tapi saya biasa melihat foto koleksi teman-teman Kampret tentang pantai-pantai di Jogja yang indah tiada tara, mengingatkan saya beberapa landscape Hong Kong yang juga tak kalah indah. Saya punya kenangan di Hargo Dumilah bersama Kompasianer Gilang Rahmawati dan Yswitopr (sayang foto Jogja di sana hilang filenya) yang mengingatkan saya pada The Peak Hong Kong dimana kita bisa menikmati pemandangan Hong Kong Island dan Kowloon dari ketinggian Victoria Peak.

Jika di Hong Kong jalanan dipenuhi pejalan kaki maka di Jogja sepeda motor merajai jalanan. Saya pernah merasakan terjebak di tengah lautan sepeda motor dengan plat nomor dari berbagai belahan bumi nusantara, saling meraung menunggu lampu berganti hijau. Saya takjub walau terbatuk-batuk karena paru-paru yang terisi dengan gas buangan kendaraan bermotor. Pengalaman terburuk dan sekaligus terbaik dan saya rindu mengulanginya. Lain kali saya harus ingat untuk membawa masker agar saya tidak sampai sakit lagi.

[caption id="" align="aligncenter" width="634" caption="Matahari Tenggelam di Boko (dok. Dwi - Album Grup Kampret)"][/caption]

Saya selalu tertarik dengan budaya lokal suatu daerah karena saya suka mengamati segala sesuatu. Hong Kong sangat menjaga budaya tradisional mereka dengan memperingati berbagai festival tradisional yang dijadikan agenda tetap tiap tahunnya. Festival seperti Mid-Autumn atau Mooncake Festival yang sekarang sedang berlangsung sekarang ini dirayakan bersama dan terasa gaungnya di penjuru Hong Kong. Pun Jogja sarat dengan budaya dan saya salut dengan usaha Wong Jogja untuk melestarikan kekayaan tradisi mereka. Saya tahu juga dari grup Kampret karena tiap kali Jogja mengadakan berbagai macam festival budaya selalu ada saja yang share di wall grup. Biasa, kami memang suka saling meracuni sesama anggota dengan apapun itu, asal masih berkaitan dengan fotografi.

Apalagi ya? Aha! Kuliner mungkin. Seperti yang saya sebut di atas, karena keberagaman penduduk baik di Hong Kong maupun Jogja, keberagaman kuliner yang menyertainya juga tak dapat dielakkan. Setiap pendatang lambat laun pasti mengenalkan masakan dan makanan dari daerah asalnya dan bukan mustahil kalau penduduk lokal pun jadi mengenal atau bahkan jatuh cinta dengan hal baru yang dibawa pendatang (dalam hal ini makanan). Tapi itu tidak menyebabkan makanan lokal asli jadi tergusur dan kehilangan identitas. Kalau Hong Kong punya egg tarts dan bermacam jenis daging panggang dari bebek peking sampai babi panggang, Jogja punya gudeg yang terkenal, lumpia serta bakpia pathuknya. Makanan lokal tetap jadi raja di tengah beragamnya kuliner pendatang.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Gudeg Komplit khas Jogja (dok. Dwi - Grup Kampret)"][/caption]

Saya sekarang seperti orang yang dimabuk cinta tapi sang pujaan hati jauh di mata. Tapi saya percaya waktu akan mempertemukan saya dan Jogja lagi dan tentu juga saudara-saudara saya di sana. Sekian catatan saya tentang cinta baru saya dan mungkin suatu saat saya akan menulis tentang Jogja lagi. Cinta memang bisa membuat kita terobsesi.

Foto Koleksi Bowo Bagus, Dwi dan Si Eka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun