"Aku ingin mengajakmu makan malam lagi Mel, seperti seminggu yang lalu. Di tempat biasa kita makan dulu." Suara berat Jimmy diseberang telepon seperti meminta.Meliterdiam sesaat, mencoba berfikir sejenak untuk mencari alasan agar bisa menolak tawaran itu. Jika ajakan-ajakan sebelumnya dia tidak sanggup menolak, tapi tidak untuk malam ini.
"Mel, kamu masih mendengar suaraku kan?" suara Jimmy kembali terdengar dalam kesibukan Meli mencari-cari alasan penolakan.
"Iya Jim, terdengar sekali kok.” Sahut Meli cepat dengan nada yang dibuat riang. “Tapi maaf,dengan berat hati aku menolak. Aku harus menyelesaikan tugas kantor karena sudah dikejar deadline." Ujar Melibohong dan berusaha keras membuat aksen bicaranya menjadi meyakinkan.
"Baiklah kalau begitu Mel.Tetapi aku tetap berharap suatu saat kita bisa makan bersama lagi. Berdua." Kali ini suara Jimmy terdengar kecewa mendengar kalimat penolakan dari Meli.
Meli menghempaskan tubuhnya ke tempat tidurnya yang empuk setelah Jimmy menutup teleponnya tiba-tiba.Fikirannya melayang jauh, batin masih berkecamuk. Ada sesal, setelah dia menolak ajakan Jimmy. Semenjak pertemuannya dengan Jimmy suatu siang di sebuah mall, kini lelaki itu kembali mengusik hari-harinya setelah hampir sepuluh tahun mereka berpisah. Bayangan masa lalu yang sudah dikuburnya dalam-dalam, perlahan kembali terpampang jelas di pikirannya. Jimmy pernah mengisi hari-hari indah Meli. Empat tahun mereka berpacaran, bukanlah waktu yang sebentar karena banyak kenangan yang sudah mereka lalui bersama, sampai akhirnya mereka berpisah karena orangtua yang tidak pernah merestui hubungan mereka.
Meli masih terhanyut dalam kenangan masa lalu dan tidak menyadari Erwin masuk ke dalam kamar. Bahkan ketika Erwin meletakkan tas hitamnya diatas meja.Lalu ia membuka kemeja lengan panjang yang dipakainya dan memasukannya ke dalam keranjang cucian di balik pintu kamar.
"Kamu lagi sakit Sayang? Kok jam segini sudah tiduran di kamar?" Erwin mendekati Meli danmemegang kening istrinya.Meli tersadar dari lamunannya, ia baru tahu jika Erwin sudah pulang dari mengajar.
"Ahh.. Enggak Mas. Aku hanya capek saja.Oh ya, tumben jam segini sudah pulang?" Meli mencoba tersenyum, jemarinya menggenggam tangan Erwin.
"Lho kamu lupa ya ini tanggal berapa?Aku kan sengaja izin malam ini." Erwin seperti keheranan dengan pertanyaan Meli.
"Lupa? Enggak ah. Ini kan tanggal sepuluh Juni. Astagaaa...." Meli menepuk kepalanya sendiri. Ia baru teringat malam ini adalah malam ulang tahun pernikahnnya dengan Erwin. Dan kemarin dia sudah mengajak suaminya untuk merayakannya dengan pesta kecildirumah, menikmati malam ini hanya berdua saja. Karena itu dia sudah menitipkan Nabila, anak semata wayang mereka dirumah neneknya.
Sialan! Gara-gara Jimmy, aku melupakan acara ulang tahun pernikahanku malam ini. Meli menggerutu sendiri dalam hati. Ia merasa bersalah dengan Erwin, lelaki pilihan orang tuanya yang kini sudah sepuluh tahun menjadi pendamping hidupnya. Lima tahun pertamapernikahan mereka adalah masa-masa yang sulit bagi Meli untuk mengerti hakikat pernikahan dan mencoba menerima takdir yang sudah digariskan dalam hidupnya.
Erwin adalah lelaki pilihan orangtuanya yang tidak pernah Meli kenal sebelumnya. Lelaki biasa saja dengan umur sekitar tiga tahun lebih tua daripada dia.Sebagai guru PNS, Erwin terhitung sebagai salah saru orang yang sedikit pendiam dan tidak banyak bicara. Itulah penilaian Meli tentang Erwin ketika suatu hari orang tuanya memperkenalkannya. Selanjutnya Meli tidak berusaha untuk mengetahuinya lebih jauh.Lebih tepatnya, tidak berminat. Baginya, Jimmy adalah segalanya. Sempurna. Wajah tampan, mobil mewah, harta berlimpah, dan cinta yang melandasi hubungan keduanya. Hanya saja, keyakinan berbeda yang membuat orangtuanya bersikeras untuk tidak merestui hubungan mereka.
"Maafkan aku ya Mas. Aku lupa kalau malam ini kita berencana merayakan pernikahan kita dirumah." Meli kini merasa bersalah.
"Tidak apalah Sayang. Kita makan malam diluar saja yuk. Tapi, aku hanya sedikit heran saja, kenapa kamu akhir-akhir ini sering menjadi orang yang pelupa dan terlihat sering melamun?" Erwin tetap tenang, tidak ada nada marah dalam ucapannya. kesabaran itulah yang membuat Meli akhirnya mulai mencintai Erwin dengan sepenuh hatinya.
"Mungkin karena umurku yang semakin bertambah ya." Meli mencoba beralasan menutupi apa yang tengah berkecamuk dalam fikirannya. Erwin hanya tersenyum mendengar jawaban Meli yang dianggapnya sebagai humor pengalih pikiran kalut. Lelaki itu kini semakin terlihat matang dan dewasa, tidak sulit baginya membaca apa sebenarnya yang sedang ada dalam pikiran Meli.
Selepas mandi dan berganti pakaian, Erwin menghidupkan motornya yang menjadi satu-satunya alat transportasi yangmereka punyai. Pekerjaannya sebagai seorang guru PNS golongan III/a, tidak bisa diandalkan untuk memiliki kendaraan mewah sebagai pemuas kebutuhan hidup. Tetapi, Erwin sangat mencintai pekerjaannya.Dalam prinsipnya, mengabdi dan bermanfaatbagi orang lain, menjadi penyempurna hidupnya setelah memiliki Meli dan Nabila. Untuk menambah penghasilankarena kebutuhan hidup yang semakin meningkat, Erwin mengajar di sebuah lembaga kursus sepulang dia mengajar. Itulah sebabnya, Erwin sering terlihat pulang sampai malam.Namun, beban Erwin terasa ringan, ketika Meli dengan ikhlas meluangkan waktunya sebagai karyawan disebuah dealer otomotif. Untuk menambah angsuran rumah yang kini mereka tempati, begitu kilah Meli ketika Erwin memaksanya untuk berhenti karena kian hari Meli semakin terlihat kurus.
***
Meli menutup diary biru laut yang sudah dimasukkan olehnya dalam sebuah pigura bernama kenangan. Yah, kenangan dengan laki-laki yang dulu selalu diharapkan olehnya dalam sujud malamnya untuk menjadi penutup lubang kekurangan dalam dirinya. Jimmy.
Segala keindahan tentang Jimmy, lompatan dan langkah 4 tahun bersama Jimmy, jalinan impian tentang masa depan berdua, semua terekam indah dalam tulisan tangan Meli di lembaran-lembaran wangi kertas diary. Bahkan tetesan air mata Meli yang sudah mengering tentang penolakan hubungan mereka dari orang tua Meli, masih membekas di lembar-lembar terakhir tulisan Meli.
Pandangan Meli mengabur, terhalang oleh gundukan air yang menggenang di pelupuk mata. Kepalanya terasa pusing, pertanda harus memaksakan diri untuk tidur dan melupakan sejenak segala wujud bernama Jimmy. Disimpan diarynya di bawah bantal sebelum otaknya menyuruh kepalanya untuk tergeletak. Dipandang wajah suaminya yang sudah terlelap. Ada lelah di sana, ada ketegasan di sana dan ada kesabaran di sana.Di peluk erat badan Erwin dan menenggelamkan tangisnya dalam mimpi.
***
“Mas, tolong rapikan kamar yah. Aku bantu Nabila merapikan peralatan sekolahnya yang belum di rapikan sama dia semalam.” Teriak Meli dari kamar Nabila. Dari nada memintanya, terlihat Meli tergopoh-gopoh akibat ulah Nabila. Setelah menghabiskan suapan terakhir nasi goreng bertabur potongan sosis sapi, Erwin menuju kamar sambil menggenggam segelas teh hangat.
5 menit telah berlalu setelah Erwin merapikan sudut-sudut kamar dan beranjak ke tempat tidur. Sebuah diary biru laut terjatuh mengenai jempol kakinya ketika Erwin menarik bantal kesayangan Meli. Penasaran menari-nari di otak Erwin dan rasa penasaran itu berhasil memerintah Erwin untuk membaca tiap kata yang terurai dengan tulisan bulat-bulat khas Meli. Dan penasaran itu membuat Erwin semakin percaya, bahwa Meli memang masih belum memiliki cinta yang bulat untuknya.
***
“Tidak Meli sayang, kau harus memilih.” Berat hati Erwin mengucapkan kalimat ini, tapi memang harus dia ucap. Dia tidak mau menyakiti pernikahan mereka jika masalah perasaan ini menjadi buntu dan terpendam dalam diam. Celana Erwin semakin basah dengan guyuran air mata Meli yang sedari tadi memeluk lutut Erwin dengan tangan yang bergetar. Sedari tadi, tak ada secuil kata pun yang terlepas dari mulut Meli semenjak Erwin mengajaknya berbicara tentang Jimmy dan perasaan Meli.
“Mas, aku tidak mau memilih.” Meli menggelengkan kepalanya tanpa bisa menghentikan tangis. “Pilihanku sudah padamu dan Nabila.”
“Tidak Sayang, kau harus tetap memilih. Bukan pada wujudku dan anak kita. Tapi memilih untuk berdamai dengan perasaanmu atau berdamai dengan masa lalumu.”
Tangis Meli semakin kencang saat Erwin melepaskan rangkulan tangan Meli dari lututnya dan meninggalkan Meli sendiri dalam badai keputusan.
***
4 hari setelah menangis, tampak diary biru laut itu sudah dihanyutkan pelan oleh Meli di sebuah sungai kecil bersama sekotak kenangan atas bayangan semu Jimmy. Dirinya tak lagi menangis, karena tak ada yang perlu ditangisi lagi. Dipandang lekat-lekat untuk terakhir kalinya diary yang semakin jauh semakin membentuk titik kecil, sambil tangannya tak henti menggamit lengan yang siap menopangnya berdiri kembali. Erwin.
____
Kolaborasi : Rizal Falih dan Miss Rochma (No. 224)
Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H