Masih terbayang rasa bahagia yang tinggi ketika Juragan Rawa menyerahkan sebentuk kunci sebuah ruang yang dari dulu membuatku penasaran. Ruang Art, Juragan Rawa menyebutnya Pintu Hati. Ketika hati ingin berkarya dengan segala imajinasi tanpa batas, ruang ini yang memberikan sebuah pintu kemana saja. Begitulah Juragan Rawa menyampaikan kepadaku dulu. Di dalam kamar kos yang sempit ini, masih teringat kekagumanku atas luas dan indahnya Pintu Hati milik Juragan. Patung yang berdiri kokoh, lukisan bertabur warna kalem, nada-nada yang tersimpan dari alat musik yang diam, sepertinya menyambut kedatanganku dengan gegap gempita. Hanya mulut yang menganga melihat penuh sesaknya Pintu Hati oleh karya-karya milik Juragan. “Miss, duduklah dikursi itu. Aku tidak mau memapahmu kalau kau terjatuh nanti memandangi seisi ruangan ini.” Juragan Rawa menggeser sebuah kursi kayu berukir di kaki kursinya di depanku. Aku hanya tersenyum tapi kuabaikan kursi itu. Berjalan pelan-pelan aku menyusuri setiap karya Juragan. Merasakan gelora Juragan dalam karyanya ketika kusentuh karya itu. Dan itu menentramkan hati. “Juragan, ini seperti sungai di selatan Rangkat.” Aku menunjuk sebuah lukisan sungai dengan jembatan kecil di atasnya yang dilukiskan Juragan dengan permainan cat berwarna putih dan biru yang menghasilkan cipratan air yang menyejukkan. “Tebakanmu tepat, Miss. Sungai yang digunakan Arif dan Uleng bercengkerama. Yah, disana.” Aku tersenyum. Aku selalu ingat sungai itu. Tempat itulah pertama kalinya aku bertemu Juragan, ketika aku belum menemukan jalan tercepat menuju MTs dan ketika itulah Juragan menunjukkan kalau jalan tercepat adalah melewati kebun kopi miliknya. “Kenapa tersenyummu seperti ada rahasia di sana, Miss?” Juragan bertanya sambil mendekatkan wajahnya pada wajahku. Spontan aku mundurkan beberapa inci wajahku ke belakang sambil tersenyum. “Umm, hanya teringat sebuah kenangan saja Juragan ketika melihat sungai itu.” Ucapku sambil berlalu menjauhi Juragan yang aku tau, dia mengerutkan dahinya sekarang. Aku melirik Tyas Djocovic, sedang asyik dia memetik dawai gitar dan memainkan sebuah tembang milik David Archuleta, Day After Tomorrow. Lagu yang bukan alirannya, tapi mungkin hanya itu lagu yang sekarang ada di otak Tyas. [caption id="attachment_82238" align="alignnone" width="400" caption="Sungai di selatan Desa Rangkat. Kering."][/caption] Kulanjutkan melihat sekeliling Pintu Hati, dan tanpa sadar aku menyenggol setumpuk kertas dan membuatnya beterbangan. Cepat-cepat aku merapikan kertas-kertas itu supaya Juragan tidak tahu tapi terlambat, di tangan Juragan sudah ada beberapa lembar kertas yang belum sampai semuanya aku kumpulkan. Aku tersenyum kecut, meminta maaf. Juragan hanya tersenyum dan ikut membantuku merapikan kertas-kertas itu. Tapi tampaknya, mata ini jeli melihat apa isi kertas tadi. Puisi. Kubaca pelan. Dan tampaknya aku mulai lupa akan tugasku merapikan kumpulan kertas itu. Puisi yang indah. Ada cinta yang bulat dan ada hati yang patah. “Puisi gombal, Miss.” Ucap juragan sambil mengambil kertas berisi puisi yang aku pegang lalu memasukkan kumpulan puisi itu ke dalam sebuah kotak kayu berukuran 30 x 30 cm. Aku termangu, melihat Juragan dan puisinya. Ternyata ada sisi romantis dalam diri Juragan yang kelam. “Sepertinya kau terlalu terpaku dengan karya tulisku, Miss.” Suara Juragan mengagetkanku. “Untuk siapa puisi itu Juragan?” tanyaku sambil mengikuti langkah Juragan tapi Juragan hanya tersenyum. Aku diam, mungkin Juragan ingin menyimpan sakit hati itu sendiri. Aku masih dibelakang Juragan untuk menyusuri setiap sudut Pintu Hati. Dan langkahku terhenti di depan 2 lukisan yang tertutup kain putih. Lancang memang, tapi aku penasaran karena hanya 2 lukisan itu yang tertutup kain. Ketika kusingkap kain penutupnya, ada wajah Rena dan Jeng Pemi di masing-masing kanvas. Dan ada wajahku disebuah foto ukuran 4R yang berdampingan dengan lukisan Jeng Pemi. Deg. Jantung ini rasanya berhenti berdetak. Ada rasa cemburu yang besar ketika fotoku yang kecil berdampingan dengan lukisan 2 perempuan cantik Rangkat yang berukuran lebih besar. Tanpa aku sadari, tangan Juragan menutup kembali lukisannya dengan kain dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya pada wajahku. Aku masih terdiam tapi mulai tersadar dengan hadirnya Juragan di depanku. “Miss..” “Ng, Juragan, gimana kalau urusan bikin musik buat nikahnya Uleng sama Mas Arif, kita lanjutkan besok? Sepertinya aku melupakan sesuatu. Aku hari ini janji ketemuan sama Zwan. Mungkin dia sudah menungguku di kos.” Usulku sambil mengusap wajahku dengan tanganku yang terasa dingin. “Tapi Miss..” Juragan berusaha mencegahku tapi terlambat. Aku hanya ingin pulang sekarang dan membenamkan wajahku di balik guling. “Tyas, aku pulang dulu yah. Besok kita lanjut lagi. Aku lupa, ada janji sekarang dengan Zwan.” Teriakku ke Tyas yang disahut dengan lambaian tangan dengan senyum manis di wajah Tyas. ****** Rasa sakit itu masih terasa sampai sekarang. Lukisan jeng Pemi dan Rena terekam jelas di otakku. Dan sudah 2 hari aku tidak keluar kos, malas bertemu semua orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H