Dalam sebuah ruangan kelas berukuran 4 x 6 meter, di sebuah desa bernama Adem Ayem, sedang diadakan rapat pemilihan ketua KPK alias ketua Komisi Pengatur Kelas. Ada beberapa nama yang mendominasi dari 27 nama dalam rapat yang diawasi oleh sebuah wanita cantik berbadan mungil yang kali ini menggunakan sepatu berwarna cream dengan hak setinggi 5 cm. Bunyi tok-tok ketika wanita, yang ternyata bernama Melati, itu berjalan mengelilingi ruangan, tidak akan pernah mengalahkan hirup pikuknya rapat siang ini. Sebut saja mereka yang pintar mendominasi tadi dengan nama Kodir, Slamet, Sekar, Dono dan Amik. Dua perempuan yang disebut tadi, Sekar dan Amik, merupakan perempuan paling cerewet daripada 16 perempuan di dalam ruangan tersebut. Kalau dua perempuan ini sudah berbicara, layaknya kereta api, sulit sekali untuk di-stop. Sedangkan Kodir, Slamet, dan Dono, merupakan 3 laki-laki yang selalu bersaing dalam mencari perhatian alias caper di depan Bu Melati. Apapun akan mereka lakukan meskipun harus memanjat pohon layaknya tarzan demi menyatakan kekagumannya terhadap wanita berumur 29 tahun itu. Seperti siang ini, mereka berempat berlomba mengeluarkan banyak argumen (yang kadang nggak nyambung) supaya mereka minimal memperoleh senyuman dari Bu Melati. Ketika Bu Melati mengelilingi ruangan dan berhenti di pojok ruangan lalu menyeret sebuah kursi kayu dan duduk dengan manisnya di sana, terjadi perdebatan seru antara kelima nama tadi. “Tidak. Nehi, nehi. Jangan memilih si Maman untuk jadi ketua. Dia selalu memihak ke teman yang dia suka.” Cegah Dono dengan sedikit (sekali) menggunakan bahasa asing (entah bahasa mana itu), sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan wajahnya dengan mata menatap teman-temannya. “Tapi Maman orangnya baik. Suka membelikan aku jajan di kantin. Kemarin saja, dia membelikan aku penggaris 30 cm lho karena aku lupa membawa penggaris. Malah kemarinnya lagi, dia membelikan Laras buku gambar ukuran besar meskipun dia tau kalau Laras sudah punya buku gambar.” Bela Amik sambil menoleh ke seorang anak yang bernama Laras yang sedang duduk di samping Bu Melati. Sedangkan laki-laki yang bernama Maman, senyum-senyum nggak jelas karena dibelas Amik. “Ah, dasar wanita. Memilih selalu menggunakan perasaan. Yang logis sedikit dong”. Sahut Slamet cepat-cepat sebelum Amik nyerocos panjang lebar tentang kebaikan Maman. Amik yang dibilang seperti itu, hanya mendelik. “Jangan marah dong, Mik. Mikir dong. Itu namaya nyogok. Suap.” Slamet menjelaskan maksudnya kepada Amik tanpa menoleh ke arah Maman yang wajahnya langsung memerah karena ketahuan maksud dibalik kebaikannya kepada teman-temannya. “Betul, betul, betul. Aku juga nggak setuju kalau Maman yang dipilih. Masih mending si Ucup. Dia pintar, nilainya selalu bagus.” Ucap Sekar sambil melirik ke arah Ucup. Laki-laki pujaannya di kelas itu. Yang dilirik, malah asyik membaca sebuah buku cerita tentang si kancil anak nakal. “No, no, no. Aku tidak setuju.” Bantah Kodir tiba-tiba dengan suaranya yang terkenal menggema. Seisi kelas spontan menoleh ke arah Kodir. Ucup yang awalnya tidak terlalu tertarik dengan perdebatan di ruangan ini, ikut-ikutan juga menoleh ke arah Kodir. “Kenapa kalian semua melihatku seperti itu? Ada yang salah yah?” Kodir bertanya sambil menggaruk-garuk rahangnya yang gatal karena digigit nyamuk semalam. “Kamu tidak setuju dengan Ucup kenapa?” Tanya Amik kemudian. Dan Kodir hanya tersenyum ditanya begitu. Amik mengerutkan dahinya tanda tidak mengerti dengan senyuman Kodir. “Amik yang cantik dan Sekar yang caem, plis dech. Meskipun Ucup itu pintar, nilainya selalu bagus, dan wajahnya tampan, tetapi dia tidak pernah mau membagikan kepintarannya kepada kita. Ingat nggak, ketika bu Melati memberi kita tugas kelompok minggu lalu. Ucup mengerjakan sendiri tugasnya tanpa mau berbagi tugas dengan yang lain. Pelajaran IPA juga gitu. Dan di pelajaran lain juga”. Kodir menjelaskan dengan nada santai dengan sesekali memandang Ucup yang sudah meletakkan buku ceritanya di meja. “Bukankah menjadi ketua itu tidak arogan? Mau berbagi dengan yang lain. Berbagi tugas pun tak masalah, kan memang dia ketua. Haknya dia sudah memberikan tugas kepada bawahan. Asal dia pun juga mau mensejahterakan bawahannya”. Kodir menerangkan lagi dengan nada yang lebih santai supaya tidak terkesan mengkompori. Berhenti sejenak berbicara, lalu menoleh pada Ucup. “Sori Cup, dimataku kamu memang seperti itu”. Ucup hanya tersenyum kecut sekecut-kecutnya. Kalimat yang menohok harga dirinya mungkin. Tiba-tiba bu Melati angkat suara (suara diangkat?). “Lalu, siapa yang mau kalian pilih? Ucup atau Maman? Atau orang lain?” Terlihat anak-anak berfikir sebentar. Ada yang sambil menyangga kepalanya dengan tangan. Ada yang berdiskusi kecil-kecilan dengan teman sebangkunya. Amik malah berdebat dengan Slamet karena lebih memilih Maman. Ada yang hanya geleng-geleng tidak mengerti harus memilih siapa. Dan ada yang lebih parah, tidur. Padahal sedang seru-serunya diskusi. Akhirnya muncul sebuah nama. Joko. Yang menurut beberapa anak di kelas ini, dia merupakan sosok yang tidak pernah memihak manapun dan selalu mengeluarkan ide-ide segar. Bu Melati hanya manggut-manggut ketika disodori nama Joko oleh beberapa siswanya. Lalu bertanya kepada muridnya, apakah setuju dengan Joko. Slamet, Kodir dan Dono langsung mengacungkan tangan tanda setuju. Sedangkan Amik dan Sekar tidak setuju karena Joko tidak ganteng dan tidak sepopuler Ucup atau Maman. Dan akhirnya, dikelas terpecah 3 kubu. Kubu Joko yang rata-rata siswa laki-laki, kubu Ucup dan kubu Maman. Dan ramailah kelas ini, seramai pasar ikan. “Bu Melati, voting. Gimana?” Tanya Slamet sambil mendekati guru kesayangannya itu. Dan bu Melati hanya tersenyum. “Ah Ibu ini, jangan senyum-senyum terus dong dari tadi. Kan kita mentok banget Bu diskusinya. Voting ajah yah?” Tanya Slamet sekali lagi. “Lalu, kenapa harus voting? Kan tinggal kalian putuskan saja, Maman, Ucup ataukah Joko”. Pancing bu Melati melihat keantusiasan siswa-siswanya. “Nehi, nehi. Aku nggak setuju, Bu. Kan sudah mentok tuh diskusinya. Kalau diskusinya ini sudah mentok, harus voting Bu”. Sahut Dono cepat sambil mengangkat badannya dari kursi yang didudukinya. Dan pendapat Dono didukung seisi kelas, karena mungkin mereka semua sudah merasa bosan dengan pemilihan ini yang tidak ketemu jalan keluarnya. Bu Melati hanya geleng-geleng saja. Lalu berjalan dengan lemah gemulai ke depan kelas. “Oke, kita voting. Siapa mau memimpin?” Sekar mengacungkan tangannya. Dan cepat-cepat maju ke depan kelas, lalu mengambil kapur siap-siap menulis di papan tulis hitam yang sudah bolong-bolong kayunya. Dan berjalanlah proses voting pemilihan ketua KPK di siang yang panas ini. Busyet deh murid-muridku ini. Masih juga SMP, sudah pinter-pinter nyerocos gini. Mana saling mempertahankan pendapatnya lagi, pada nggak mau kalah. Padahal anak kampung, ke sekolah saja pakai sandal. Makan apa mereka ini tiap hari? Coba kalau petinggi di kota bisa sepinter mereka, damai kali yah nech negara. Batin bu Melati sambil meninggalkan murid-muridnya yang sibuk dengan kegiatan voting mereka. Dan masih dengan jalannya yang lenggak-lenggok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H