Kemarin, sekitar pukul tiga sore, sebuah pesan pendek masuk di handphone saya. Ketika saya buka, sebuah nomer yang tidak terdaftar dalam phonebook mengirim sebuah pesan pendek berisi pemberitahuan. Dari isinya, akhirnya saya tahu kalau pesan pendek itu berasal dari salah satu siswa saya di kelas 7i di SMP tempat saya mengajar. Isi pesan pendeknya cukup panjang. Kira-kira begini isinya : Kelas 7i, kelakuan boleh nakal tapi nggak kurang ajar. Penampilan emang acak-acakan tapi kami selalu ingat Tuhan. Otak boleh pas-pasan tapi nggak berarti kami nggak punya masa depan. Kami brutal bukan berarti kami tidak punya moral. Kami setia kawan hanya berontak pada lawan. Kami bersatu tuk jadi nomer satu. Inilah jiwa anak 7i. Sebarkan sms ini kesemua anak bahkan ke gurunya lho nggak apa-apa. Biar gurunya sadar. Ketika menerima pesan pendek tersebut, saya tidak heran lagi karena banyak guru yang mengeluh kepada saya kalau beberapa siswa di kelas 7i memang sering membuat onar di kelas. Setelah menerima pesan pendek itu, saya langsung membalas dengan meminta dia (si pengirim pesan pendek) dan teman-teman sekelasnya untuk membuktikan isi pesan pendek tersebut minimal sebelum kenaikan kelas di bulan Juni nanti. Balasan pesan pendek saya merupakan tantangan saya kepada siswa-siswa saya di kelas 7i. Saya bilang tantangan karena saya yakin mereka bisa berubah meskipun hanya sedikit supaya perubahan mereka nantinya bisa merubah kesan negatif dari guru-guru pengajar yang sudah terlanjur melekat pada mereka. [caption id="attachment_85529" align="alignnone" width="640" caption="http://ainun.yolasite.com/diary/bodoh"][/caption] Pemberian label negatif kepada anak, bisa saja dilakukan oleh siapapun. Bahkan guru sekalipun. Dan ini terjadi di sekolah manapun bahkan terjadi di sekolah tempat saya mengajar. Ketika ada sebuah kelas yang di dalamnya ada beberapa siswa yang tidak bisa mengerjakan tugas yang diberikan guru atau ada beberapa siswa yang sering mengganggu teman-temannya, terkadang ada guru yang men-generalkan kesalahan tersebut kepada satu kelas. Pemberian label paling banyak terjadi secara verbal. Contohnya ketika ada orang tua mengatakan “kamu bodoh kalau mengerjakan begitu saja tidak bisa”. Atau “kalau kamu nakal, ibu akan memukulmu”. Atau saja “Kenapa bapak harus punya anak gak tau aturan seperti kamu”. Dan masih banyak contohnya lagi. Pemberian label secara verbal ini sering pula didukung dengan menunjukkan sikap acuh tak acuh kepada si anak. Seorang murid saya yang nilainya dibawah rata-rata hampir di semua pelajaran, pernah berkata kepada saya,”Aku ini nggak bisa apa-apa Bu, soalnya ibu bilang kalau aku ini bodoh”. Pemberian label kepada anak secara tidak langsung akan membentuk kepribadian anak menjadi seperti yang diucapkan oleh orang yang memberikan label. Mengapa begitu? Karena anak secara tidak langsung dalam pikirannya dijejali bagaimana caranya menjadi anak yang tidak baik yang ternyata contohnya adalah anak itu sendiri. Sebagai orang tua atau orang yang tinggal dengan anak-anak, baiknya kita untuk lebih berhati-hati dalam hal pemberian label negatif kepada anak. Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan. Yang pertama, berhati-hati ketika berbicara kepada anak. Simpan dahulu kata-kata yang memiliki kesan negatif di depan anak terutama ketika kita marah. Anak adalah subyek yang mudah meniru apa yang dikatakan atau dilakukan oleh orang dewasa. Sehingga ada kemungkinan, anak akan melakukan apa yang sudah ditanamkan (atau secara tidak langsung ditanamkan) ke dalam pikirannya atau bahkan akan meniru perkataan negatif itu untuk diucapkan ulang kepada teman sebayanya. Cara yang kedua adalah menggunakan kata pengganti untuk kata bodoh, nakal, jahil, dan lain sebagainya dengan menggunakan kata-kata lain yang lebih halus tetapi memiliki arti sama. Misalnya mengganti kata bodoh dengan kata tidak bisa, kata nakal dengan kata banyak tingkah dan lain sebagainya. Setelah menggunakan kata yang lebih halus kepada anak, beri pengertian kepada mereka kenapa kita mengucapkan kata itu. Tujuannya adalah supaya mereka tahu bahwa ada yang salah pada perilaku mereka dan mereka perlu untuk memperbaikinya di kemudian hari. Pada cara ini, kita sebagai orang tua atau orang yang lebih tua bisa menanamkan nilai-nilai moral yang sesuai dengan tumbuh kembang anak. Dan hal terakhir yang perlu dilakukan adalah pemberian motivasi yang tinggi kepada anak supaya mereka lebih bersemangat lagi memperbaiki kesalahannya dan dapat melakukan hal baik di lain hari dengan keinginannya sendiri tanpa harus diawasi oleh orang lain. ____ Baca juga ini yah : Aku Hanya Diam Ketika Kalian Memanggilku Autis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H