Ada sebuah kalimat lama yang selalu terngiang ketika saya melakukan sesuatu dan setelah melakukannya, saya menyesalinya. Kalimat itu adalah “nasi sudah menjadi bubur”. Mungkin ini juga dialami oleh orang lain selain saya, karena dalam kehidupan kita, kita terkadang melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu apakah yang kita lakukan itu menimbulkan dampak yang baik ataukah dampak yang buruk. Saya menyebut itu sebagai ketergesaan mengambil keputusan. Terlalu menuruti keinginan. Orang jawa bilang, gesusu mung nuruti karep.
Kalimat nasi sudah menjadi bubur sudah saya kenal sejak saya menginjakkan kaki di sekolah dasar. Ketika SD dulu, hampir semua guru selalu menggaungkan kalimat itu di kelas. Dengan harapan agar siswanya tidak salah langkah dalam mengambil keputusan atau melakukan sesuatu. Penggaungan kalimat itu oleh guru-guru saya, memiliki makna juga agar saya memiliki benteng diri dalam berbuat. Benteng diri ini, bisa saya bentuk dari penanaman, pemaknaan dan pengaplikasian norma yang saya terima dari orang-orang yang ada di sekitar saya. Ironisnya, makna ini saya sadari setelah saya dewasa. Terlambat memang.
Seorang sahabat semasa kuliah, beberapa bulan yang lalu mencurahkan isi hatinya tentang kegundahannya dalam memilih pasangan hidup. Aku panggil dia dengan nama Mimi. Malam ini, saya teringat percakapan singkat kami lewat telpon kala itu.
“Miss, sulit melupakan dia yang penuh dengan karisma dan otaknya yang penuh dengan ilmu. Dia pintar, dia tampan, dia ramah” ucap Mimi tiba-tiba ketika kami sedang enak-enaknya membahas tentang film The Blind Side.
“Lalu? Kenapa kalau dia pintar dan tampan?” saya bertanya dengan jengkel karena mendadak dia mengalihkan pembicaraan yang sedang seru-serunya.
“Tapi aku sudah menolak dia, Miss. dan setelah sebulan aku menolaknya, aku masih teringat segala hal tentang dia. Tapi aku nggak mungkin meminta dia melamarku kembali. Dia sudah di Bandung sekarang, melanjutkan S2-nya. Dan rasanya sekarang aku merindukan dia”
“Dan sekarang kamu menyesal?”
Dan sampai sekarang, pertanyaan saya itu tidak pernah Mimi jawab. Bahkan sampai sekarang setelah dia menerima pinangan dari sahabat masa kecilnya dulu.
Tapi, meskipun Mimi tidak menjawab pertanyaan saya, saya sudah bisa mengambil sebuah pelajaran dari sebuah penyesalan. Ketika nasi yang kita masak tadi sudah menjadi bubur, jangan pernah menyerah untuk menghidangkan makanan terbaik di atas meja makan. Buatlah nasi kembali dari beras yang baru. Awasilah beras yang kita masak tadi dengan penuh kehati-hatian agar tidak lagi menjadi bubur untuk yang kedua kalinya.
Ketika kita menyesal dengan apa yang kita perbuat, jangan lama-lama terpuruk dalam penyesalan. Segera bentuk kekuatan baru untuk bangkit dan berusaha lagi melakukan yang terbaik. Tentunya dengan berbagai perhitungan yangtepat agar bisa meminimalkan resiko.
Hhhmmm... saya pun sekarang belajar untuk bisa membuat nasi yang baru setelah nasi saya yang lama sudah menjadi bubur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H