Mohon tunggu...
Miss Rochma
Miss Rochma Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Semua orang yang saya kenal adalah orang yang luar biasa dalam pemikirannya sendiri. Tulisan saya dengan gaya bahasa yang berbeda? disini : http://www.mamaarkananta.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Berbisik pada Cermin tentang Iri yang Mendera (ECR)

23 Juli 2011   05:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:27 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13113993361817746693

Sudah lama, kaki Miss Rochma tidak berpijak di desa Rangkat yang lembut akan nyanyian angin hutan yang asri. Menengok ibu yang sakit di desa lain yang berjarak sehari perjalanan kaki, membuat Miss Rochma tidak berani mengambil resiko untuk selalu membagi waktunya untuk desa Rangkat dan desa ibunya. Bayangan rasa capek yang nantinya akan mendera tubuhnya, tidak sanggup dia pikirkan. Surat cuti untuk beberapa hari tidak mengajar, dia layangkan ke kepala sekolah dan kepada Pak Kades sebagai tanda bakti pada ibundanya.

Desa Rangkat yang lama ditinggalkannya, memiliki banyak galon-galon rindu untuknya, menceritakan sebagian kisah cinta warganya melalui bisikan suara yang terlewat dari lubang telinga para warganya. Cinta yang saling berbalas, pun juga cinta rumit yang mencipta setumpuk sapu tangan di ujung kamar. Semua kisah saling bersautan, tetapi semakin menanam riang dalam keseharian karena cerita semakin menjadi menarik untuk disimak. Gosip atau fakta, hanya Tuhan yang tahu.

Tapi,

Kisah cinta yang semakin berbalas layaknya pantun melayu di desa Rangkat, menambah tingkat debar jantung dalam dada Miss Rochma. Iri mendera.

Jilbab coklat muda yang sedari tadi menggelayut manja di kepalanya, perlahan sudah dia lepaskan. Tampak rambut hitam sebahu yang baru 2 hari dia pangkas. Sambil menyisir rambutnya yang tak lebat, matanya menatap cermin yang tak retak di seberang tempat tidurnya. Wajahnya tak ayu, tak pula mengundang ejekan para lelaki di desa Rangkat. Tidak pula sabar, ketika anak-anak desa Rangkat berbuat salah yang amat sangat di sekolah. Tapi juga dia mudah menitikkan air mata, jika ibu Kades menceritakan beberapa cerita tentang warga desa Rangkat yang belum sejahtera.

Tetap saja, dia sama dengan perempuan-perempuan pemberi cerita cinta di desa Rangkat. Bunda Selsa, Jingga, Mbak Deasy, Mbak Asih bahkan bu Kades sekali pun. Dirinya inginkan cinta. Dua tahun sudah dia lalui di sini, tapi hanya sekali dirinya berani mencintai lelaki lebih daripada dirinya mencintai pekerjaannya. Seorang lelaki separuh baya, pemilik kebun kopi terbesar di desa Rangkat. Tapi pesona lelaki itu pelan-pelan terkikis tanpa kabar karena dia lebih memilih melebarkan ambisi bisnisnya di kota di ujung pulau.

Hatinya ingin mencintai lelaki lain di desa Rangkat, tapi tidak ada keberanian yang muncul untuk menunjukkan rasanya layaknya perempuan lain. Tidak banyak lelaki desa Rangkat yang betah bertandang menemaninya mendengarkan ocehan jangkrik malam di teras kosnya dan tidak banyak pula lelaki desa Rangkat yang memberinya ucapan selamat pagi pembuka hari.

Di tatap lekat wajahnya yang terlukis di wajah rata cermin kamar. Teringat belaian lembut ibundanya yang sakit beberapa malam yang lalu.

“Nduk, kalau kamu tidak bisa mencari sendiri calonmu, ibu yang akan carikan. Banyak lelaki di desa ini yang bersedia menyuntingmu menjadi istrinya.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun