Mohon tunggu...
Miss Rochma
Miss Rochma Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Semua orang yang saya kenal adalah orang yang luar biasa dalam pemikirannya sendiri. Tulisan saya dengan gaya bahasa yang berbeda? disini : http://www.mamaarkananta.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cersama) Sakit Kakinya Bu Layla

16 Agustus 2012   09:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:40 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Layla. Usianya sudah 3 tahun lebih dari setengah abad. Profesinya ketika dia masih muda memang sebagai perawat, tetapi karena otaknya yang cerdas dan gesit, karirnya sekarang melonjak pesat. Diusianya yang ke 34, dia sudah menjadi kepala perawat bagian anak-anak. Banyak program yang dia lakukan untuk mengembangkan bagian anak-anak sehingga tidak bisa dipungkiri lagi, rumah sakit menjadi lebih ramai oleh pasien anak-anak karena pelayanannya yang memuaskan. Dan akhirnya, direktur rumah sakit tertarik dengan kemampuannya dan menempatkannya di bagian pengadaan barang-barang rumah sakit. Karena kegesitannya, banyak orang yang mempercayakan lalu lintas pengadaan barang padanya sehingga transaksi sering dilakukan olehnya.

Meningkatnya karir, pastinya berbanding lurus dengan membaiknya gaya hidup. Meskipun gaya hidup adalah pilihan masing-masing orang, berbeda dengan bu Layla. Keuangannya semakin membaik, rekan kerjanya dari kalangan menengah ke atas, kebiasaan lama yang terkesan ‘ndeso’ mulai dia tinggalkan, dan pola makannya mulai berubah. Karena dia memiliki uang lebih, sekarang dia memiliki kebiasaan baru. Shopping. Atau setidaknya window shopping saja. Ya, shopping dengan siapa saja. Anaknya, suaminya, rekan di bagian pengadaan, siapa saja yang bisa diajak shopping. Dan otomatis, kalau sudah shopping, terlupakanlah kebiasaan dirinya untuk memasak di rumah.

Hingga suatu hari, dia mengeluh kapada putra sulungnya kalau kaki kanannya sakit.

“Mungkin mama terlalu capek.” Begitu saja jawab Ryan, putra sulungnya.

“Nggak mas, kalau mama capek, kamu pijat saja sudah terasa ringan. Lha ini, dari tadi kamu pijat, masih juga terasa linu.” Bu Layla berusaha meyakinkan anaknya tentang rasa sakitnya.

“Ya sudah, besok dibawa ke mak Asih aja yah buat dipijat.” Saran Ryan yang disusul dengan anggukan kepala bu Layla.

***

“Ma, darimana?” Tanya Ryan ketika melihat mamanya dan adiknya, Sofi, pulang dengan membawa beberapa tas belanjaan.

“Shopping, Mas. Daripada mama stres mikirin proyek pembangunan rumah sakit yang nggak selesai-selesai itu.” Jawab Sofi sambil membantu mamanya membawa tas belanjaan untuk dimasukkan ke kamar mereka.

“Lha kakinya Mama, dah enakan?” Ryan bertanya ke bu Layla sambil menyalakan televisi. Bu Layla menggeleng cepat.

“Rencananya mama besok mau ke mak Asih, pijet.” Jawab bu Layla sambil melangkah pelan-pelan menuju kamarnya.

“Lho, Mama nggak jadi ke mak Asih hari Minggu kemarin?” Ryan menyusul bu Layla ke kamarnya karena kaget mamanya tidak jadi pijat 4 hari yang lalu.

“Nggak sempat, Ryan.” Sahut bu Layla sekenanya.

“Nggak sempat gimana? Orang kemarin Minggu, Mama nggak kemana-mana gitu.”

“Nggak kemana-mana gimana? Mama kemarin ke rumah tante Lastri, diajak merasakan resep barunya.”

Ryan geleng-geleng mendengar jawaban mamanya. Sambil berlalu dia berkata, “Kalau besok masih tetap nggak ke mak Asih dan kakinya mama masih sakit, jangan sambat.”

Dan bu Layla hanya diam.

***

“Mas, mama habis jatuh dari tangga di rumah sakit. Sekarang ada di ruang perawatan.” Terdengar suara Sofi di telepon. Ryan yang kala itu sedang memperbaiki instalansi listrik pabrik yang sedang terbakar, hanya diam saja mendengar kabar dari Sofi.

“Mas, halo, Mas. Kok diam saja?”

“Iya, Mas kesana sekarang.” Sahut Ryan kemudian yang disusul dengan matinya telepon.

***

“Ma, tolonglah, istirahat sebentar.” Ryan memohon ke bu Layla ketika melihat bu Layla membongkar isi tas kresek yang menumpuk.

“Mas, mama nggak papa. Tenang aja.”

“Nggak papa gimana? Dokter orto kemarin bilang kalau mama disuruh istirahat.”

“Gampang ah, Mas. Kan Cuma istirahat to? Mama nggak papa kok, hanya disuruh menguruskan badan saja kan biar kaki mama cepat sembuh.”

“Tapi kalau mama shopping melulu, mana bisa sembuh?”

“Bisa ah.” Sahut bu Layl cepat, seolah meremehkan.

“Gimana caranya kalau bisa?” Tanya Ryan cepat, seolah tidak yakin. Bu Layla diam saja.

“Kemaren Mama ke bagian pemulihan. Mama disuruh membeli sepeda statis untuk olahraga.”

“sepeda statis atau apapun itu, kalau Mama masih suka shopping, nggak akan berhasil menguruskan berat badan. Mama akan semakin nggak teratur makannya. Mana bisa sakit kakinya Mama sembuh?”

“Nggak ada hubungannya, Ryan.” Bantah bu Layla sambil menaruh barang-barang yang sudah dibelinya.

“Ada. Mama kapan terakhir kali mengatur jadwal diet makan seperti dulu yang selalu Mama lakukan? Kapan terakhir kali Mama memasak buat orang rumah? Kapan terakhir kali Mama senam di sanggarnya Tante Nurul?”

Bu Layla diam saja mendengar Ryan mencerca semua yang sudah tidak pernah dilakukan lagi olehnya. Untuk mengalihkan perhatian, Mama pura-pura berbicara dengan Sofi di depan televisi sambil tidur-tiduran.

“ Terserah Mama kalau mau membeli sepeda statis. Semua akan sia-sia kalau Mama sendiri nggak punya keinginan kembali hidup sehat seperti dulu.” Ucap Ryan sambil mengambil kunci motor dan meninggalkan Mama yang terdiam karena membenarkan ucapan Ryan.

***

“Mas, yang sabar dikit dong hadapi Mama. Mas kan ngerti sendiri Mama itu kalau dah pengennya, ya kudu dilakukan.” Sofi mencoba memberi saran kepada Ryan di sore hari setelah dirinya pulang kerja. Ryan hanya diam saja ketika Sofi memberikan argumennya.

“Mas sih nggak masalah Mama mau shopping atau nggak. Tapi Mas hanya khawatir sama kesehatan Mama. Mama sekarang seperti diluar kontrol karena karir yang semakin melonjak.” Ucap Ryan tiba-tiba ketika keduanya terdiam. Sofi memandang kakaknya dengan mata dipincingkan. Sepertinya memang iya, Mamanya mulai berubah sejak di pengadaan.

Tapi Sofi tidak menjawab apa-apa. Karena memang tidak bisa memberi solusi apa-apa atas berubahnya pola hidup bu Layla. Hanya bu Layla sendiri yang bisa merubahnya, anak-anaknya hanya bisa mendukung saja.

Tanpa sengaja, tanpa mereka berdua ketahui, bu Layla mendengar perbincangan anak-anaknya. Dirinya tergetar. Bergetar hatinya mendengar anak-anaknya memperdulikan dirinya karena posisi karir dia yang semakin menanjak naik. Ya, dirinya memang lupa. Lupa memperhatikan kesehatannya, lupa memperhatikan keluarganya, lupa memperhatikan ibadahnya.

Dan bu Layla tanpa sadar menangis pelan.

-END-

***

#Cersama adalah kependekan dari Cerita Bersama, adalah even yang dibuat oleh kami berenam yaitu Saya, Inin Nastain, Vianna moenar, Elhida, Ajeng dan Kayana.

*Cersama hari pertama : (Cersama) Ketika Harga Bungkuh Kopyor Naik di Bulan Puasa

*Cersama hari kedua : (Cersama) Menunggu Kabar dari Pabrik

*Cersama hari ketiga : (Cersama) Purwanti dan Ceritanya

***

Klik Cuap ala Mama Arkananta untuk membaca tulisan saya yang lain ^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun