Mohon tunggu...
Miss Rochma
Miss Rochma Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Semua orang yang saya kenal adalah orang yang luar biasa dalam pemikirannya sendiri. Tulisan saya dengan gaya bahasa yang berbeda? disini : http://www.mamaarkananta.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cersama) Menunggu Kabar dari Pabrik

14 Agustus 2012   11:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:47 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pak, ada kabar dari pabrik?" Tanya wanita yang umurnya kira-kira 37 tahun. Namanya Ningsih. Parasnya ayu, hitam sehingga memunculkan kesan manis. Apalagi alis matanya yang njlirit panjang.

"Belum bu." Pria yang dipanggil bapak ini menjawab sekenanya karena dia masih serius menonton berita siang di televisi. Nama pria ini Sarmin. Tinggi, besar, hitam. Terkesan seperti para penagih hutang bank.

"Beras kita tinggal 3 kg saja, Pak. Kemarin aku menyuruh Budi membeli di warung mbok Yah." Ningsih melanjutkan pembicaraan sambil menuang teh hangat dalam teko berukuran kecil. Setelah menambah gula beberapa sendok dan mengaduknya, Ningsih menuangnya di dalam gelas blimbing berukuran sedang dan membawanya ke hadapan Sarmin.

“Makasih Bu.” Ucap Sarmin setelah mencium bau harum teh hangat yang dihidangkan istrinya. Cepat-cepat dia meminumnya dan cepat pula dia menaruhnya kembali di atas meja. Televisi yang mendampinginya sudah dia matikan. Tatapannya sekarang menjadi lebih serius.

“Pabrik belum memberikan kepastian apa-apa, Bu. Hanya menyuruh karyawannya menunggu saja sampai pabrik pulih.”

“Sampai kapan, Pak?”

“Kata Pak Irwan, kira-kira sampai Desember.”

“4 bulan? Lama sekali, Pak?” Ningsih mulai gelisah. Dalam pikirannya berkecamuk antara jumlah beras, biaya sekolah Budi dan Ratna dengan jumlah uang yang mereka punya sekarang.

“Lalu, Bapak tetap mendapatkan gaji penuh?” Tanya Ningsih penasaran.

Sarmin menggeleng lalu menjawab kalau pabrik hanya mampu membayar sepertiga dari gaji mereka sebelumnya. Ningsih kembali gelisah dan Sarmin mulai mencium kegelisahan istrinya.

“Sementara pakai dulu uang yang ada di Mandiri, Bu.”

“Kita berdua dari awal sudah sepakat kalau uang itu untuk pendidikan Budi sama Ratna, Pak. Aku nggak tega kalau mau ambil uang di sana.” Ucap Ningsih sambil memegang tangan Sarmin lembut. Sarmin dalam hati setuju dengan ucapan istrinya. Bagi mereka pendidikan anak-anak mereka lebih penting supaya hidup anak-anak mereka bisa lebih baik daripada hidup bapak ibunya.

“Kalau ibu hitung-hitung, sepertinya kita masih bisa kok, Pak, hidup dengan sepertiga gaji bapak. Asal kita harus berhemat, tidak bisa lagi kita menganggarkan liburan setiap minggu seperti dulu lagi.” Ningsih mencoba memberikan suntikan ide kepada suaminya, berbagi keadaan. Sarmin diam sejenak. Tak lama kemudian dia mencium pipi istrinya.

“Untung aku hidup denganmu, Sayang.” Ucapnya halus diiringi senyum manis Ningsih.

***

Teringat Ningsih atas kejadian 2 bulan belakangan ini. Pabrik yang memproduksi benang, tempat suaminya bekerja, mengalami penurunan penghasilan selama hampir setengah tahun. Pabrik yang berproduksi di bawah naungan negara itu, berusaha untuk terus berproduksi meskipun pemasukan terus menurun. Akhirnya, pada bulan lalu, direksi pabrik memberikan pengumuman bahwa setiap karyawan mendapatkan gaji sepertiga dari gaji sebelumnya sebagai imbas menurunnya pemasukan pabrik. Beberapa karyawan tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena mereka mengetahui kebenaran tentang kondisi pabrik tanpa ada rekayasa. Sedangkan beberapa orang lainnya yang masuk dalam Serikat Pekerja, menolak dengan keras keputusan direksi pabrik.

Sejak itulah, Serikat Pekerja melakukan demo setiap hari supaya pabrik menaikkan gaji mereka. kalau tuntutan tersebut tidak dibayarkan, maka Serikat Pekerja akan mogok kerja. Jajaran direksi diam saja, melihat perkembangan selanjutnya dari pemerintah pusat karena pabrik benang ini masih dibawah naungan negara. Serikat Pekerja tidak bisa menunggu. Tidak sabar. Dan terjadilah pengerusakan massal pada fasilitas milik pabrik. Sasaran utamanya adalah perumahan dinas. Dan salah satu penghuni rumah dinas adalah Sarmin dan keluarganya, karena jabatan Sarmin sudah Kepala Regu dan berhak menempati salah satu rumah di perumahan dinas.

Pengerusakan terjadi malam hari, seminggu sebelum anak-anak Ningsih menjalani Ujian Akhir Sekolah. karyawan yang mogok kerja mulai merusak tanaman di depan rumah, menggedor pintu dan jendela serta mengejek nama Sarmin dengan kata-kata kotor di depan Budi dan Ratna. Dan kejadian itu berulang terus selama 4 hari. Karena takut kondisi mental Budi dan Ratna terganggu, akhirnya Sarmin dan Ningsih memutuskan untuk keluar dari perumahan dinas dan memilih untuk menyewa satu kamar kecil di perkampungan sekitar pabrik. Sembari menunggu kabar selanjutnya dari para direksi pabrik atas nasib para pekerja yang masih mau memberikan tenaganya demi berlangsungnya produksi pabrik.

“Bu, Bapak sudah pulang.” Ucap Ratna, membuyarkan lamunan Ningsih atas kejadian besar 2 bulan ini. Dirinya memang menunggu kedatangan suaminya. Tepatnya menunggu kabar yang dia bawa. Bergegas dia ke depan menyambut kedatangan suaminya.

“Bu, alhamdulillah, tanpa menunggu sampai Desember, nasib kita sudah jelas.” Ucap Sarmin segera setelah melihat wajah istrinya di depan pintu.

“Bagaimana Pak? Sejelas apa?” Tanya Ningsih tidak sabar. Tanpa sadar, tangannnya mengusap kepala Ratna kencang sampai Ratna kesakitan.

“Pak Irwan bilang, para karyawan yang masih bekerja akan diberi uang pesangon akhir bulan nanti dan pabrik akan ditutup bulan depan. produksi kita sudah tidak bisa membantu mengembalikan gaji karyawan.”

Ningsih terdiam. Itu bukan kabar yang ditunggunya. Dia berharap suaminya tetap bekerja di sana sampai mereka pensiun. Memiliki penghasilan yang tetap dan pasti untuk menabung demi masa depan keluarga mereka. Melihat istrinya terdiam, Sarmin tersenyum.

“Bu, kabar ini masih lebih baik daripada aku diberhentikan tanpa pesangon. Direksi masih menghargai tenagaku dan karyawan lain selama dua bulan ini.” Ucap Sarmin pelan sambil melepas kaos kaki dan menyuruh Ratna menaruhnya di tumpukan baju kotor. Tapi Ningsih tetap terdiam.

“Bu, dengan uang pesangon itu kita jadikan modal usaha saja. Membuka catering sesuai keinginanmu dulu sambil aku mencari pekerjaan lain. Bagaimana?”

Ningsih masih tidak menjawab. Dia masih berusaha berdamai dengan keadaan suaminya sekarang. Beberapa menit kemudian, Ningsih baru berucap.

“Pak, semoga ini menjadi awal langkah baru kita. Ayo kita susun rencana usaha kita di dalam rumah sambil minum teh hangat.” Ucap Ningsih sambil tersenyum. Berusaha menenangkan hatinya dan mensyukuri kondisi keluarganya. Ini masih lebih baik daripada suaminya diberhentikan tanpa pesangon.

-END-

***

#Cersama adalah kependekan dari Cerita Bersama, adalah even yang dibuat oleh kami berenam yaitu Saya, Inin Nastain, vianna moenar, Elhida, Ajeng dan Kayana.

Inin Nastain : (Cersama) Dan kita akan bercengkrama, sayang
Vianna Moenar :
Elhida :
Kanaya : (Cersama) Penggalan-Penggalan Kisah
Ajeng : (Cersama) Tunggu Papa Ya

***

Klik Cuap ala Mama Arkananta untuk mebaca tulisan saya yang lain ^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun