Bintang pekat berbalut gelap
Bulan pudar mencair kelam
‘mai – mai’ berlari riang
Hening tanpa suara
Ngengat gelap berpesta pora
Mengajak kumbang beradu gigi
Peluh mengucur dalam diam
Lelaki – lelaki berkulit gelap
Bang - bung – bong
Seng – seng pun terkoyak
Bak – bik – buk
Sepatu – sepatu lars beradu tulang
Dingin!
Kelam!
Gelap!
Perih!
Sakit!
Urine mengambang dalam tenggorokan,
Dingin menusuk tulang badan – badan telanjang
Darah menetes tanpa henti
Tubuh – tubuh gelap kesakitan.
Plak – plek – plok
Wajah gelap berlukis tangan
Bak – bik - buk
Lenguh kesakitan bercampur darah
Langit Ifaar berselimutkan ‘paniki’,
‘Paniki – paniki’ pengisap darah!
Bumi Ifaar bermandi keringat,
Keringat – keringat bercampur darah!
Tubuh – tubuh gelap
Terseret, terpukul, terinjak, tertendang.
Tubuh – tubuh gelap
Tercabik, terampas, tertindas, terjerembab.
Kekupu telah pergi.
Laron – laron berpesta.
‘Soa – soa’ telah pergi,
Cicak rumah bertepuk dada.
Malam tanpa nama
Malam tanpa suara
Bentara jiwa tak lagi menjadi raja
Tenggelam di relung – relung gunung Ifaar
Saudara berganti nama menjadi musuh
Sahabat berganti rupa menjadi begundal
Kawan berganti wujud menjadi ‘bromocorah’
Nafas di dada pun berkhianat!
Malam tanpa nama
Malam tanpa suara
Malam panjang tanpa kata
Malam panjang penuh darah.
Masihkah diingat oleh anak cucu?
Entahlah!
Aku tak tahu.
(Canberra, 14 Juni 2010; terinspirasi oleh Peristiwa Desember 1962 di Ifaar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H