Mohon tunggu...
Misran Lubis
Misran Lubis Mohon Tunggu... Relawan - Penggiat Sosial dan Kemanusiaan

Aktivis Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) sejak tahun 1998, dimulai dengan pendamping masyarakat bersama Bitra Indonesia, kemudian tahun 2000 bergabung dengan lebaga PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak), sampai sekarang, dan saat ini sebagai Direktur Eksekutif Nasional Konsil LSM Indonesia, Ketua FK PUSPA Sumatera Utara, dan Dewan Daerah WALHI Sumuatera Utara. Keahlian: Penelitian, konsultan dan fasilitator pelatihan hakanak, peningakatan kapasitas OMS, dan Fasilitator Bisnis dan HAM/Hak Anak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buruh Anak “dari Sungai Sampai Lereng Bukit”

3 Maret 2012   19:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:33 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1330801982953736131

(Catatan Lapangan Survei Buruh Anak di Pulau Nias, 18-24 februari 2012)

Pulau Nias banyak berubah apabila dibandingkan dengan kondisi sebelum gempa tahun 2005. Ribuan bangunan berupa rumah, perkantoran, pasar, sekolah, rumah ibadah dan jalan/jembatan memang sudah dapat dinikmati hasilnya, tetapi pembangunan terus berjalan hingga kini. Setiap hari, puluhan truk pengangkut kayu, batu sungai, batu gunung, kerikil, pasir, dan batu-bata datang dari desa menuju kota untuk memenuhi permintaan material bangunan. Para pengusaha galian C juga sibuk memenuhi suplai material bangunan sehingga harus mempekerjakan banyak orang agar hasil penambangan pasir, batu dan kerikil dapat memenuhi permintaan. Tak ketinggalan para pemilik tanah di desa yang merelakan lahannya dibongkar karena menyimpan batu cadas yang dibutuhkan untuk pembangunan. Maka tidak sedikit lahan pemukiman dan lahan perkebunan dieksploitasi tanpa mempertimbangkan bahaya longsor yang dapat terjadi sewaktu-waktu.

Tetapi siapa sangka jika gedung megah, jalan yang mulus dan jembatan yang baru dibangun, ternyata mengharapkan berbagai material bangunan dari tangan mungil anak-anak Nias? Pada setiap lokasi galian C tempat menambang berbagai material bangunan tersebut, ditemukan 5-15 anak berusia 10-18 tahun. Mereka tidak mempedulikan bahaya yang dapat mengancam keselamatan. Anak-anak ini harus melupakan mimpi menikmati sekolah, apalagi bermain dengan teman sebaya di tempat yang aman. Kini mereka harus ikut menanggung beban ekonomi keluarga. Mereka juga bekerja seperti orang dewasa meski upah yang mereka terima berbeda. Jika orang dewasa berpenghasilan Rp30.000-Rp50.000/hari, anak-anak ini hanya berpenghasilan Rp10.000 -Rp15.000/hari.

Pekerja anak untuk sektor pertambangan pasir dan batu baik di sungai, di pantai, maupun di perbukitan telah ditemui pada hampir seluruh wilayah Pulau Nias. Hal ini berlangsung secara turun-temurun tanpa membedakan beban kerja untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Anak-anak ini ada yang sudah drop out sekolah, ada juga yang masih berstatus pelajar, bahkan untuk anak-anak yang belum bersekolah seperti anak usia 6 tahun pun sudah terlibat secara produktif sebagai penambang bahan-bahan bangunan.

Apabila menelusuri desa-desa di pulau Nias lebih jauh, ternyata semakin banyak ditemui pekerja anak. Anak-anak ini bahkan dalam situasi yang sangat buruk. Sebut saja, pada satu sungai besar di kecamatan Tugalaoyo, Kabupaten Nias Utara, setiap harinya ditemui 5-10 anak laki-laki dengan usia 14-18 tahun yang menyusuri sungai dengan rakit/perahu kecil. Mereka membawa puluhan ton karet. Karet-karet milik penadah dari para petani kebun tersebut kemudian diangkat dari sungai ke truk di pinggir sungai. Kemudian anak-anak ini harus memanggul 60-80 kilogram karet menuju daratan dengan jarak sekitar 50 meter. Dalam sehari, seorang anak mengangkut satu sampai dua ton karet dengan upah Rp50.000-Rp100.000/hari. Upah tersebut disesuaikan dengan banyaknya karet yang berhasil diangkat.

Anak-anak tersebut tidak bersekolah lagi, karena itu uang yang mereka peroleh sebagian diberikan kepada orangtua. Sebagian dipergunakan untuk membeli makanan di warung, membeli rokok dan minuman beralkohol. Nampak kalau anak-anak ini pun meniru gaya hidup orang dewasa yang bekerja bersama mereka. Bahkan kadang-kadang, orang dewasa memanfaatkan ketidak-berdayaan anak-anak ini, misalnya dengan meminta anak-anak untuk membelikan rokok dan minuman beralkohol produksi lokal yaitu “tuak” yang dicampur dengan minuman beralkohol produksi pabrik.

Sektor lain yang mempergunakan pekerja anak yaitu perkebunan karet milik keluarga. Di sini, anak bekerja dari pukul 05.30 WIB. Anak-anak desa bersama orangtuanya pergi ke hutan untuk menderes karet. Menderes karet sepintas terlihat mudah, tapi nyatanya untuk menuju lokasi tanaman karet, anak-anak harus berjalan kaki puluhan kilo meter setiap hari. Pekerjaan di kebun karet ini dilakukan oleh anak laki-laki dan anak perempuan, bahkan anak-anak berusia tujuh tahun juga telah diajarkan untuk mederes karet.

Berdasarkan kajian cepat yang dilakukan oleh PKPA dan ACTED tahun 2012 di Kabupaten Nias Utara dan Nias Barat, sebaran pekerja anak di pulau Nias adalah sebagai berikut:

  • 53% anak bekerja pada sektor perkebunan/pertanian.
  • 26% anak bekerja pada sektor penambang batu/kerikil/pasir.
  • 6% anak bekerja sebagai nelayan.
  • 11% anak bekerja sebagai penjaga warung/toko.
  • 3% anak bekerja pada sektor konstruksi/bangunan.
  • 1% anak bekerja pada sektor usaha rumah tangga.

Gambaran di atas belum menggambarkan sebaran pekerja anak untuk Kota Gunungsitoli. Di Gunungsitoli jenis pekerjaan terburuk yang melibatkan anak-anak lebih kompleks, seperti memulung, menarik becak, pekerja rumahtangga, penjaga toko, prostitusi anak dan menjual makanan/minuman keliling. Dari beberapa jenis pekerjaan tersebut, sektor menambang batu, kerikil, menambang pasir di sungai dan di lereng-lereng bukit merupakan sektor pekerjaan yang terburuk untuk anak-anak. Selain lokasi kerja yang membahayakan keselamatan anak, bentuk pekerjaan ini juga sangat eksploitatif. Beban kerja yang sangat berat dengan waktu kerja yang panjang telah menyebabkan banyak anak mengalami penurunan motivasi sekolah dan berperilaku seperti orang dewasa yaitu merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol.

Fakta bahwa ditemuinya buruh anak di sektor penambangan batu, kerikil dan pasir memang bukan cerita baru di Pulau Nias. Kondisi tersebut telah berlangsung secara turun-temurun. Bahkan masyarakat dan pemangku kepentingan di wilayah tersebut sepertinya telah maklum dengan kondisi ini dan memandang hal ini sebagai sesuatu yang biasa. Entah sampai kapan anak-anak ini akan terbebas dari pekerjaan terburuk. Entah kapan mereka akan menikmati masa kanak-anak dengan penuh kasih sayang, dapat sekolah dengan nyaman, bermain dengan teman sebaya dan meraih mimpi-mimpi menjadi orang sukses!!!!

[caption id="attachment_164479" align="alignleft" width="300" caption="Burun Anak Penambang Batu Cadas"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun