Mengingat kacaunya penyaluran corporate social responsibility (CSR), antara lain siapa sasaran CSR sesungguhnya, ketepatan penggunaan dana, apakah perusahaan bisa melakukan penyaluran langsung? Dan masalah lainnya, yang diungkap dalam workshop "Kemitraan Strategis antara Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dengan Pemerintah dan Sektor Swasta dalam Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Berkelanjutan", Kamis, 25 September 2014 di Asean Hotel Internasional, yang diselenggarakan oleh Konsil LSM Indonesia Wilayah Sumut hasil kolaborasi kerjasama Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dan Masyarakat Agribinis dan Agroindustri Indonesia (MAI) didukung oleh ICCO.
"Program CSR merupakan sebuah kewajiban bagi perusahaan untuk turut serta dalam program pemberdayaan masyarakat. CSR bukan hanya program bagi-bagi kue tetapi harus menjadi sebuah program yang berkesinambungan. Banyak program CSR disalurkan oleh BUMN bernilai milyaran rupiah, namun kurang tepat sasaran dan tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, harapannya bagaimana LSM dapat mengambil peran baik dalam pengawasan maupun terlibat dalam program-program pemberdayaan masyarakat melalui dana CSR perusahaan." Hal tersebut disampaikan oleh pembicara dalam workshop, Ir. Saprudin Hamdani Damanik dari MAI.
Karena masalah-masalah yang dihadapi terhadap penyaluran CSR tersebut maka dirasa mendesak untuk membuat aturan yang jelas tentang penyaluran CSR. Aturan dapat berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Daerah (Perda).
"Selama ini aturan mengenai CSR hanya ada dalam pasal di Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menetapkan adanya kewajiban melaksanakan program CSR dan Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dimana Petunjuk Pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007." Ungkap Dani Damanik, panggilan akrab Ir. Saprudin Hamdani Damanik.
Begitupun dengan pengalaman yang disampaikan oleh Bantor Sihombing dari PT DML, "bahwa saat ini, tidak ada aturan main yang jelas tentang pengelolaan CSR karena undang-undang yang ada tidak mengatur secara detail tentang penggunaannya. Di beberapa daerah seperti di Aceh dan Padang ada aturan agar perusahaan memberikan dana hibah. Sebenarnya hal ini tidak boleh karena tidak sesuai dengan undang-undang.
Di Padang, misalnya, pemerintah meminta hibah sebesar 500 rupiah perkilo tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, dan hal ini tentu saja akhirnya akan memberatkan masyarakat karena perusahaan akan membebankan biaya tersebut kepada masyarakat. Kami pernah mendesain program CSR untuk program pendidikan dan ekonomi. Ternyata, dana CSR dari perusahaan dapat memicu datangnya banyak proposal ke perusahaan.
Oleh karena itu, jika sudah ada dana CSR, maka seharusnya proposal seperti itu sudah tidak ada lagi. Solusinya, kita harus mendorong lahirnya sebuah Perda yang jelas untuk mengakomodasi penyaluran CSR. Masalah utama LSM dengan perusahaan adalah ketidakpercayaan (distrust). Jika rekam jejak kita baik, mudah-mudahan kita dapat meminimalisir masalah tersebut."
Menanggapi hal tersebut, Ilham Maulana dari Forum Masyarakat Labuhanbatu (Formal), berbagi pengalaman bagaina Formal telah menginisiasi Perda untuk pengaturan penyaluran CSR pada kabupaten Labuhanbatu. "meskipun belum jadi, namun Ranperda yang kami usung telah melewati beberapa tahapan proses, sampai pada legal drafting." Ungkapnya.
Dalam sambutannya, Iswan Kaputra, dari Konsil LSM Indonesia Sumatera Utara, menyatakan, "Zaman terus berubah. seperti diketahui bersama, pada masa yang lalu, antara LSM, Pemerintah dan Perusahaan selalu bertolak belakang, bahkan bermusuhan. Kini kita tinggalkan masa lalu, untuk kita bergandeng tangan bekerja bersama demi kemajuan masyarakat.
Disadari bahwa Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) saat ini masih belum memiliki posisi tawar yang baik kepada pemerintah dan private sektor. Bahkan relatif tidak percaya. Hal tersebut dirasakan akan berdampak kepada keberlanjutan program-program pemberdayaan masyarakat, khususnya di propinsi Sumatera Utara.