Mohon tunggu...
Misqul Syakirah
Misqul Syakirah Mohon Tunggu... Insinyur - Perekayasa

Lulusan S1 Teknik Sipil yang memiliki pengalaman sebagai Analis Perencana, Evaluasi dan Pelaporan serta Perekayasa di bidang transportasi yang juga memiliki tanggungjawab sebagai penulis di Tabloid Aceh TRANSit yang membahas informasi seputar transportasi Aceh. saya juga memiliki ketertarikan pada wawasan baru, teknologi, kuliner, hiburan, wisata, kesehatan, parenting, pendidikan dan olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perkuat Solidaritas Nasional: Solusi Padamkan Bara Api di Laut Cina Selatan

31 Mei 2024   11:31 Diperbarui: 31 Mei 2024   11:32 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Globalfirepower.com

Secara gamblang, konflik di Laut Cina Selatan dipicu oleh nilai strategis yang dimiliki wilayah ini sangatlah besar baik dari segi politik dan keamanan maupun dari segi ekonomi. Dalam persepktif politik dan keamanan, penguasaan wilayah ini memberikan keuntungan strategis untuk penempatan pangkalan militer dan pengawasan serta mendorong kebebasan navigasi. Sedangkan dari perspektif ekonomi, lebih dari sepertiga perdagangan maritim dunia melewati Laut Cina Selatan, termasuk 80 persen impor energi Cina atau setara 3,37 triliun dolar AS dalam perdagangan maritim global melewati Laut Cina Selatan setiap tahun. Fakta lainnya yang menjadi dalang utama terhadap sengketa yang tak kunjung usai ini yaitu diperkirakan 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam tersimpan di perairan ini. Nilai yang sangat besar memicu banyak pihak untuk menguasai wilayah ini.

Konflik di Laut Cina Selatan telah berkembang dari perselisihan klaim teritorial yang historis menjadi sengketa geopolitik yang kompleks dengan implikasi regional dan global. Periode awal melihat klaim historis yang mulai ditegaskan melalui peta sembilan garis putus-putus (Nine-Dash Line). Eskalasi terjadi pada tahun 1980-an hingga 2000-an dengan insiden militer dan pembangunan infrastruktur di wilayah sengketa. Pada dekade 2010-an, reklamasi besar-besaran dan militerisasi oleh Cina menambah ketegangan. Meskipun ada upaya diplomasi melalui ASEAN dan pengadilan internasional, konflik ini terus berlanjut dengan insiden-insiden baru dan peningkatan aktivitas militer di wilayah tersebut. Bagi Indonesia, ketegangan ini khususnya terasa di wilayah Natuna Utara, mengharuskan respons yang kuat dalam diplomasi dan pertahanan maritim.

Laut Cina Selatan, sebagai wilayah perairan yang strategis dan kaya akan sumber daya, telah menjadi pusat ketegangan geopolitik dengan potensi memicu konflik besar. Klaim teritorial yang saling tumpang tindih oleh beberapa negara, termasuk Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan, menciptakan ketegangan yang mempengaruhi tidak hanya negara-negara tersebut tetapi juga stabilitas regional dan internasional. Bagi Indonesia, meskipun tidak secara langsung terlibat dalam klaim-klaim tersebut, dampak dari konflik ini tetap terasa dan mengancam kedaulatan nasional.

Selama ini, negara-negara yang terlibat dalam klaim langsung telah menjalin kerja sama bilateral. Namun, pertemuan mengenai kerja sama ini sering kali diikuti oleh berbagai pernyataan yang memanaskan situasi dari para pejabat dan warga negara yang bersengketa. Di antara negara-negara ASEAN, Filipina dan Vietnam adalah dua negara yang paling vokal mengenai kemungkinan terjadinya perang. Sebagai contoh, dalam pidato peringatan kemerdekaan Filipina yang ke-115 pada 12 Juni 2013, Presiden Benigno Aquino III menegaskan bahwa Filipina tidak akan mundur dalam menghadapi ancaman terhadap kedaulatan dan wilayah teritorialnya, termasuk jika harus berhadapan dengan Cina.

Konflik yang memanas ini kian menyala dengan fakta yang dilansir dari Globalfirepower.com bahwa anggaran militer resmi Cina berada di urutan kedua setelah Amerika Serikat (AS) di dunia. Untuk diketahui, anggaran pertahanan AS sebesar US$831,78 miliar atau 266 persen lebih besar dibandingkan Cina. Hal ini juga membuat negara-negara ASEAN lainnya ikut meningkatkan anggaran pertahanannya sebagai identifikasi awal persiapan akan konflik. Khususnya di Asia Tenggara, Singapura pada tahun 2022 memiliki anggaran pertahanan sebesar 11,560 juta US Dollar. Pada posisi kedua, terdapat Indonesia dalam data anggaran pertahanan ini. Indonesia tercatat oleh Global Fire Power memiliki anggaran pertahanan sebesar 9,300 juta US Dollar. Indonesia disusul oleh Vietnam dengan anggaran pertahanan mencapai 6,238 juta US Dollar.

Selanjutnya, terdapat negara Filipina yang memiliki anggaran pertahanan senilai 4,390 juta US Dollar, diikuti oleh negara Malaysia dengan 3,793 juta US Dollar dalam anggaran pertahanannya. Thailand merupakan urutan negara selanjutnya dengan anggaran pertahanan negara sebanyak 2,933 juta US Dollar, kemudian Myanmar dengan anggaran pertahanan senilai 2,286 juta US Dollar. Kamboja dan Laos menjadi negara terakhir Asia Tenggara dengan anggaran pertahanan masing-masing senilai 632 juta US Dollar dan 38 juta US Dollar.

Dengan demikian, walaupun belanja militer negara-negara ASEAN tidak meningkat secara drastis, perkembangan militer yang ada tetap mengkhawatirkan (Mangindaan 2015). Amitav Acharya (2009) mencatat bahwa Presiden Filipina Fidel Ramos menyebutnya sebagai a mini-arms race of sorts, sementara analis Australia menyebut apa yang terjadi dengan suatu slow motion arms race. Perkembangan militer ini berpotensi menimbulkan ancaman jangka panjang dan meningkatkan kecurigaan antarnegara di kawasan, yang bertentangan dengan prinsip good-neighbourliness dan keinginan untuk mencapai stabilitas regional (status quo).

Untuk menangani ancaman konflik di Laut Cina Selatan terhadap kedaulatan Indonesia, pemerintah harus mengimplementasikan strategi konkret yang meliputi peningkatan diplomasi melalui ASEAN untuk mempercepat penerapan Kode Etik (Code of Conduct) yang mengikat, serta memperkuat kerjasama dengan negara-negara besar untuk mendukung kebebasan navigasi. Selain itu, modernisasi angkatan laut Indonesia dengan memperbarui kapal perang dan memperkuat infrastruktur militer di Natuna sangat diperlukan guna meningkatkan patroli dan kehadiran militer di wilayah tersebut. Penegakan hukum maritim harus diperkuat dengan teknologi canggih seperti satelit dan drone untuk pengawasan lebih efektif, serta meningkatkan pelatihan bagi profesional maritim. Pembangunan pelabuhan dan infrastruktur logistik di Natuna harus diprioritaskan untuk mendukung kegiatan ekonomi dan pertahanan, sambil melibatkan masyarakat lokal dalam menjaga dan melaporkan aktivitas ilegal untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi publik.

Berdasarkan pandangan Karl Deutsch (dalam Holsti 1988), terdapat tiga aspek penting yang harus diperhatikan oleh negara-negara yang berupaya membentuk masyarakat keamanan. Pertama, pembuat kebijakan dari dua atau lebih unit politik, serta masyarakat secara umum, perlu menghentikan pemikiran tentang kemungkinan terjadinya perang di antara mereka. Kedua, dua atau lebih negara harus berhenti mengalokasikan sumber daya untuk memperkuat kemampuan militer yang ditujukan satu sama lain. Ketiga, diperlukan penerimaan dan kepatuhan yang ketat terhadap aturan dan perjanjian tertentu ketika tujuan kolektif dari unit-unit politik tersebut tidak sejalan.

Di samping itu, melibatkan masyarakat dalam penanganan konflik di Laut Cina Selatan terhadap kedaulatan Indonesia adalah langkah penting karena beberapa alasan. Pertama, masyarakat lokal sering menjadi saksi langsung dari aktivitas ilegal atau mencurigakan di wilayah perairan mereka, seperti penangkapan ikan ilegal atau pelanggaran wilayah. Melibatkan mereka dapat meningkatkan pengawasan dan pemantauan terhadap aktivitas tersebut, membantu pemerintah dalam mengambil tindakan yang cepat dan tepat. Kedua, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kedaulatan nasional dan keamanan maritim dapat memperkuat solidaritas nasional dan dukungan terhadap upaya-upaya pemerintah dalam menjaga kedaulatan di wilayah sengketa. Ketiga, melibatkan masyarakat dalam proses pendidikan dan pelatihan maritim dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang hukum laut, peran Indonesia dalam ASEAN, dan pentingnya kerjasama internasional dalam menyelesaikan konflik, sehingga mereka dapat menjadi mitra yang lebih efektif dalam menjaga kedaulatan dan keamanan maritim Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun