[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Kartu BPJS (KOMPAS.com)"][/caption]
Ide tulisan ini berasal dari pengalaman kecil penulis berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan sharing informasi dengan teman-teman sejawat yang bekerja di rumah sakit. Ketika itu kondisi sakit melanda telinga walaupun tidak parah tetapi cukup menggangu pendengaran. Penulis coba berobat ke RSUD di wilayah dekat tempat tinggal yang berjarak sekitar 12 kilometer. Agak jauh sih memang, padahal sebenarnya ada juga RS swasta yang terdekat sekitar 5 kilometer dan 3 kilometer, tapi keinginan mencoba RS pemerintah begitu kuat karena menurut subjektif penulis kemampuan dokter di RS Pemerintah lebih terasah selain tarif berobat umumnya lebih murah dibanding swasta. Toh... dokter yang praktek di RS swasta biasanya juga berasal dari RS Pemerintah. (Nama RS sengaja saya rahasiakan karena tidak ada maksud saya untuk menjatuhkan nama dokter dan RS tersebut).
Karena kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saya belum diurus ke BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), penulis masih memegang kartu Askes lama (karena alamat KTP beda dengan domisili). Jadi ketika berobat, penulis menjadi pasien umum biar tidak ribet dan bisa langsung berobat ke dokter spesialis THT di RS. Penulis sampai di Bagian Pendaftaran RSUD di kota ternama tersebut sekitar pukul 10 pagi, memang sengaja datang agak siang untuk menghindari antrian panjang yang biasa terjadi pagi hari. Tetapi alangkah kagetnya ketika akan ambil nomor antri disampaikan oleh petugasnya bahwa saya sudah dapat nomor antri 30-an sehingga dipersilahkan untuk datang besok lagi atau pilihan berobat ke RS lain.
Waduh dok… coba pikir, kalau sekarang hari senin berarti saya mesti datang hari Rabu untuk menemui dokter tersebut (sebab saya lihat di daftarnya dokter THT hanya ada 1 orang dan praktek Senin, Rabu dan Jumat). Bagaimana kalau pasien yang datang dengan sakit parah ya? karena biarpun penyakit di bagian THT tetapi bisa saja kondisi pasien sudah parah. Selain karena hal tadi, juga karena dokter THT nya datang jam 11.00 WIB akhirnya saya putuskan berobat di RS swasta saja.
Sayangnya saya tidak sempat tanya ke petugas tadi, apakah hal ini diberlakukan sejak diberlakukannya JKN tahun 2014? Karena tahun sebelumnya memang belum pernah berobat di RS tersebut. Kalau memang benar, apa tujuannya? Apakah untuk membagi beban kerja dokter biar setiap hari tidak melebihi 30 pasien yang ditangani? Kalau begitu, berapa idealnya 1 dokter melayani pasien dalam sehari untuk di rawat jalan? coba kita lihat hitungannya!
Saya tidak berpikir hal yang saya alami di atas sebagai penolakan RS terhadap pasien secara halus, tetapi saya coba hubungkan dengan beban kerja dokter yang ideal untuk melayani pasien dalam 1 hari. Untuk menjawab pertanyaan ini Metoda Ilyas memberikan alternatif solusi yang akurat karena dapat menghitungbeban kerja tenagadengan cepat dengan tingkat akurasi yang tinggi sehingga menghasilkan informasi beban kerja tenaga. Adalagi metode perhitungan tenaga menggunakan metode indikator beban kerja (Work LoadIndicator Staff Need=WISN)yaitu suatu metode penyusunan kebutuhan tenaga berdasarkan pada beban pekerjaan nyata yang dilaksanakan oleh tiap kategori tenaga. Dapat digunakan untuk menetapkan jumlah tenaga berdasarkan jenis kegiatan dan volume pelayanan pada suatu unit atau institusi.
Berdasarkan dua metode tadi, dapat dihitung berapa beban kerja yang ideal pada tenaga dokter dalam satuan waktu menit atau jam per hari kerja. Dari beberapa referensi yang didapatkan memang sedikit yang membahas tentang beban kerja dokter THT, Jadi disini diambil dari beban kerja tenaga Dokter Spesialis Bedah .
Dengan metode estimasi beban kerja setiap tenaga kesehatan mempunyai beban kerja efektif sekitar 80% dari waktu kerja sebulan.Jika waktu kerja normal untuk dokter perhari adalah 8 jammaka ada 6,4 jamyang efektif (384 menit). Berdasarkan pedoman standar kebutuhan SDM diketahui 1 dokter spesialis di Poli Rawat Jalan memerlukan waktu 9 menit untuk memeriksa 1 pasien baru. Maka 1 hari seorang dokter spesialis dapat melayani sekitar 42,7 pasien (dibulatkan menjadi 43 pasien).
Sehingga jika dilihat kasus di atas, pihak RS yang membatasi kunjungan 1 dokter sehari hanya 30 pasien maka tentu tidak mempunyai alasan yang kuat. Akibatnya jika semua pasien ditanggung oleh BPJS, maka BPJS telah membayar dokter dengan beban kerja yang sedikit. Akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat sebagai pengguna layanan, karena tidak bisa mendapatkan haknya untuk mendapat layanan.
Menghadapi hal ini, seharusnya BPJS bisa membela hak pasien tersebut. Ada dimana BPJS ketika pasien membutuhkannya? Apakah BPJS dapat mengontrol fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan semena-mena kepada peserta? Seharusnya fasilitas kesehatan seperti itu diberikan sanksi tegas karena seperti kata Pak Yaslis, BPJS bukan sekedar juru bayar saja. BPJS sebagaimana tertuang dalam UU nomor 24 tahun 2011 mempunyai kewenangan untuk menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan yang “nakal” dengan tujuan untuk melindungi peserta.
Belum lagi permasalahan lain jam kerja dokter yang datang siang sekitar jam 11.00 bahkan ada yang jam 12.00 karena lebih mementingkan kerja di RS swasta dulu, sehingga pasien BPJS terlantar. Ada lagi masalah yang dihadapi staf di Bagian Pendaftaran RS karena di kartu peserta tidak tercantum jatah kelas, sehingga membingungkan ketika pasien datang malam hari yang harus dirawat. Akibatnya penentuan kelas rawat inap hanya berdasarkan omongan pasien atau keluarganya, atau menanyakan jumlah setoran setiap bulannya bagi pasien non PBI mandiri. Atau diketahui keesokan harinya ketika kantor BPJS di RS buka.
Begitu majemuknya permasalahan yang dihadapi dalam 6 bulan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional ini, tapi mudah-mudahan BPJS dan pemangku kebijakan lainnya mempunyai solusi yang tepat untuk mengatasi hal ini. Seperti hitungan beban kerja dokter di atas diperlukan untuk mengetahui berapa angka ideal jumlah dokter yang diperlukan di fasilitas kesehatan. Kalau memang beban kerja terlalu banyak, solusinya bisa dengan menambah jumlah tenaga dokter tersebut. Tetapi jika beban kerja tidak bermasalah maka solusi tepat yang dapat ditawarkan adalah peningkatan kualitas tenaga dokter tersebut agar cakupan dan kualitas kesehatan kepada masyarakat bisa diperbaiki.
Sebelum tulisan ini ditutup, disampaikan bahwa tidak ada maksud saya untuk menjatuhkan atau menjelekkan instansi atau profesi tertentu. Diharapkan melalui sharing informasi seperti ini pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan JKN dapat menjadikannya sebagai masukkan, agar di masa depan menjadi lebih baik. Khususnya bagi RS, BPJS maupun Kementerian Kesehatan untuk melihat dan memperbaiki kualitas layanan kesehatan di era JKN sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H