Mohon tunggu...
Juli Dwi Susanti
Juli Dwi Susanti Mohon Tunggu... Editor - Guru-Dosen-Penulis-Editor-Blogger

Menulis adalah sedekah kebaikan Yang menjadi obat, therapy, Dan berbagi pengalaman hidup untuk manfaat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sertifikasi Bukan Segalanya tapi...

30 Desember 2014   05:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:12 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1419904725743091455

[caption id="attachment_387102" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi - Ujian Sertifikasi Guru. (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)"][/caption]

"Bu  ya Allah gajiku di SDIT fulan 264 rb. Gimana aku bisa  beli susu buat anak Bu? Tega banget padahal aku dalam kondisi bgini. Kuatkan aq ya allah." Begitu bunyi SMS suatu siang yang kuterima dari salah seorang teman guru saat aku menjadi kepala sekolah sebelumnya di SDIT itu. Tapi aku lebih dulu memilih keluar karena idealisku tidak bisa menerima keadaan yang sebenarnya keadaan di dalam. Padahal aku baru 2 bulan memegang jabatan itu.

Demikian bunyi SMS yang kuterima awal bulan ini. Bukan bunyi SMS-nya yang bikin aku tercenung. Aku sadar berapa pun rezeki wajib disyukuri dan berapa sih gaji guru di Indonesia yang bisa paling tinggi sehingga beliau bisa tenang dalam menjalankan pekerjaannya sekaligus pencari nafkah tunggal karena sedang berproses berpisah dengan suaminya karena kezoliman suaminya yang rajin berselingkuh dengan perempuan-perempuan binal dan hanya menguras harta suaminya semata.

Justru yang kupikirkan adalah keprihatinan yang amat mendalam. Tentang keberadaan sekolah-sekolah tempat menghasilkan calon pemimpin bangsa dididik oleh para pemberi ilmu yang di mana tidak sedikit karena memang mencintai profesi mengajarnya tetap bertahan walau harus pontang-panting mencari tambahan untuk bertahan hidup. Walaupun banyak juga yang merusak dengan menjadikan guru sebagai pekerjaan antara atau batu loncatan, atau sebagai tujuan akhir karena tidak mendapat pekerjaan di mana mana, itu juga bagian yang tidak bisa dipungkiri.

Aku yang tinggal di sebuah kabupaten di provinsi Jabar amat merasakan sebagai tenaga honorer di sekolah sekolah swasta atau SDIT yang pernah dua kali aku merasakan. Yang terpikir olehku adalah mengapa mudah sekali sebuah sekolah berdiri, hanya karena dia mampu membangun gedung dan punya pengalaman sedikit sebagai tenaga guru. Seolah tidak perlu manajemen profesional. Bisa gedung dan sekolah berdiri lengkap dengan surat surat izinnya, tapi penggajian guru dan tenaga pendukungnya amat sangat prihatin dan miris sekali.

Betul kita jangan berharap pada gaji seorang guru, tapi dengan segala hal yang telah sebuah yayasan swasta lakukan, hanya menimbulkan gerundelan atau apa ya bahasa enaknya? Keluhan dalam hati para gurunya yang terpaksa menerima karena dekat dengan rumah atau karena awalnya dipaksa dan diiming-imingi harapan. Padahal gajinya jauh sekali dari ketentuan UMR.

Sedangkan tuntutan dan pekerjaannya melebihi imbalan. Artinya, batinku adalah, kalau memang belum bisa menggaji layak, jangan buka sekolah! Kalau hanya isinya tergiur saat ini sekolah-sekolah sedang booming. Yang ada hanyalah yayasan berpikir keuntungan semata dan menjadikan guru pekerja semata, bukan sebagai mitra yang harus bahu-membahu untuk memajukan anak bangsa dan sekolah.

Sehingga yang terjadi adalah sering kali guru-guru keluar-masuk mencari sekolah yang lebih bersahabat dari segi kenyamanan dan keuangan. Hal yang wajar dan manusiawi bukan? Beruntung kini ada tunjangan sertifikasi, bisa sedikit membantu, bahkan yayasan yang masih memberi gaji di bawah 1 juta untuk guru yang harus mengajar sampai jam 16 harusnya merasa berterima kasih. Tidak perlu menambah gaji. Namun terkadang, hal itu pun sulit dilakukan karena alasan macam-macam. "Nanti kalau sudah sertifikasi kabur deh," pernah kudengar hal itu dari mulut pemilik yayasan di sekolah tempatku pernah mengabdi. Astaghfirullah dan mereka mempersulit dari segi administrasinya.

Kalaupun diijinkan, sering terjadi perjanjian di mana mereka harus memberikan 20% pendapatannya untuk yayasan di mana tempat mereka mengabdi. Kalau tidak, guru akan dipersulit administrasinya saat mengurus verifikasi pemberkasan dan sebagainya. Aku tahu, tidak semua yayasan begitu, masih ada beberapa persen yang mau berpihak pada guru. Tapi itu juga perlunya dukungan kepala sekolahnya yang kuat dan merasakan hal yang sama keadaannya.

Aku adalah salah satu guru yang pernah merasakan hal-hal seperti di atas. Dan itu kebanyakan kurasakan saat aku mengabdi di sekolah-sekolah SD swasta. Ada 3 sekolah swasta besar dan 2 sekolah swasta kecil tempatku mengabdi sejak 2003–2011. Kenapa aku harus pindah-pindah tempat? Sesungguhnya, aku juga inginnya tidak pindah-pindah sekolah. Apalagi di sekolah pertama kali tempatku mengabdi sejak kepulanganku dari Semarang karierku cukup melesat bagus. Dari jadi guru favorit matematika dan IPA, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan hingga kepala sekolah selama 2 tahun dan sempat membawa sekolah ini berada pada posisi ke-2 di bawah SDIT terkenal yang kudengar saat itu notabene milik Bupati Bekasi waktu itu, dalam hal perolehan nilai NEM pada Ujian Nasional Juni 2010 lalu.

Aku ini apalah, bukan seorang pemilik yayasan, tapi di bawah kepemimpinanku dan kerja sama dengan guru-guru, SD ini terus harum namanya dengan prestasi akreditasi sekolah pun terus bertahan di A+. Sayang prestasiku dibalas dengan yayasan sebaliknya. Boro-boro hadiah atau pujian, bahkan yang ada hanya tekanan demi tekanan atas pengaduan guru senior yang merasa dirugikan dengan peraturan sekolah yang padahal itu juga peraturan yayasan, tapi liciknya justru aku dijadikan tameng menutupi kelemahan yayasan. Begitu juga dengan protes orang tua tentang kebijakan sekolah yang sekali lagi itu tidak pernah lepas dari pengaruh yayasan. Aku sebagai kepala sekolah sering dibayang-bayangi dengan berbagai permasalahan yang membuatku tidak merasa nyaman.

Pengawas atau UPTD setempat juga tidak mampu berbuat banyak. Walaupun mereka merasa terbantu nama dinas tempat mereka bekerja naik saat disebut sekolahku itu berada di wilayah mereka. Bahkan mereka pernah memprediksi aku akan menjadi kepala sekolah yang akan bertahan lama dengan prestasiku itu. Tapi hal itu tidak terbukti, aku mengajukan pengunduran diri setelah itu karena justru merasakan hal yang tidak nyaman dan leluasa untuk menjabat posisi itu. Aku memilih menjadi seorang guru saja, agar lebih tenang dan tidak perlu pusing memikirkan sekolah dan yayasan. Saat itu ternyata namaku keluar sebagai guru yang berhak mendapat kesempatan PLPG sertifikasi. Sempat aku mendapat halangan, tapi Alhamdulillah aku lulus PLPG dan berhak atas tunjang Profesi. Dan aku memilih keluar untuk mencari sekolah yang bersahabat.

Aku sempat 5 kali keluar-masuk setelah keluar dari sekolah SD pertamaku. Terlebih begitu Pendataan DAPODIK diaktifkan, tunjanganku tidak cair selama hampir 1 tahun. Dataku juga hilang tidak terdaftar di mana-mana. Sahabatku yang dulu pernah jadi guru Agama saat aku menjadi kepala sekolah dan kini menjadi direktur yayasan sekolah keluarganya sempat membantuku untuk mengembalikan dataku dengan menyertakan aku sebagai gurunya walau aku hanya mengajar setiap hari Jumat ternyata tidak cukup membantu. Saat itu aku sudah lelah di SD dan menerima tawaran mengajar di SMK Swasta tempatku kini bernaung, terlebih aku juga mendapat kesempatan menjadi dosen Matematika di sebuah STKIP dan UT UPBJJ di suatu pokjar. Aku berinisiatif untuk menutup sertifikasiku di SD setelah berkonsultasi dengan kepala sekolahku. Dan beliau mendukungku untuk mutasi NUPTK-ku ke SMK-ku ini.

Alhamdulillah di awal 2014 dengan program Siap Padamu Negeri, namaku keluar sebagai calon PLPG lagi, walau berliku dan sempat menimbulkan polemik, bahkan sempat dipersulit karena aku belum GTY sesuai peraturan yang baru, membuatku harus maju ke LPMP Jawa Barat. Akhirnya setelah perjuangan itu hampir setahun, Sertifikat Guru Profesi kini kumiliki lagi di penghujung tahun 2014 ini di UPI Bandung. Sebagai kekuatanku untuk terus menjadi guru professional, sebagai penguat kemampuan keuanganku yang harus membesarkan ketiga jagoanku kini seorang diri. Mereka sudah besar dan biaya sekolah atau kuliahnya mulai banyak, akupun  harus menyelesaikan S-2 ku karena tuntutan profesi dosenku. Aku bersyukur di kesempatan PLPG terakhir ini aku masih diberi jalan oleh Allah. Karena tahun depan sudah tidak ada PLPG  (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) lagi di mana hanya 10 hari pelaksanaanya di bawah universitas yang ditunjuk oleh pemerintah. Mulai tahun depan adalah PPG (Pendidikan Profesi Guru) dengan biaya sendiri selama 6 sampai 12 bulan seperti kuliah. Subhanallah, alhamdulillah ya Allah. Semoga aku bisa menjaga amanahmu ini.

Sertifikasi memang bukan segalanya dan penjamin keprofesionalan seorang guru, tetapi buat seorang guru sepertiku yang mencintai profesi guru hal ini sangat membantu. Aku yakin masih banyak guru sepertiku, masalah sertifikasi sempat ternodai oleh ketidakprofesionalan guru kemudian merusak arti sebuah sertifikasi, itu adalah oknum. Masih lebih banyak yang menginginkan profesional dan sungguh-sungguh mendidik anak bangsa. Terlebih negara atau sekolah belum bisa memberikan gaji yang layak seperti di negara-negara lainnya, arti sebuah sertifikasi sangat dinanti.

Griya Tambun, 28 Desember 2014 penuh rasa syukur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun