Latar belakang
Dalam kehidupan manusia komunikasi merupakan salah satu kebutuan pokok yang harus dipenuhi bagi manusia sebagai makhluk sosial, ini berarti manusia tidak akan pernah lepas dari yang namanya berkomunikasi antar sesama. Komunikasi selain memenuhi kebutuhan dasar, juga memiliki fungsi untuk mengumpulkan informasi tentang orang lain, memenuhi kebutuhan interpersonal, membentuk identitas diri, serta memengaruhi orang lain (samovar, 2010: 16-17). Dalam perkembangannya proses komunikasi dilakukan pada sebuah media, media komunikasi ini mulai banyak bermunculan dan semakin beragam. Menurut Rogers seperti dikutip Nasrullah dalam Teori dan Riset Media Siber (2014: 2), periode ini disebut sebagai Interactive Communication Era. Kemudian media komunikasi ini mulai bergeser ke arah media siber (cyber media) yang kemudian melahirkan budaya baru, yaitu budaya siber (cyber culture). Cyber media dan cyberculture ini berada dalam lingkungan yang dinamakan cyberspace.
Pada era globalisasi perkembangan media komunikasi seperti cyber media (khususnya media sosial) semakin memudahkan manusia untuk berkomunikasi satu sama lain, secara tidak langsung teknologi mengubah cara orang dalam berkomunikasi. Dengan hadirnya media sosial membuat manusia tidak perlu bertatap muka untuk berkomunikasi karena sifatnya real-time dan tidak mengenal jarak dan waktu. Media sosial juga dapat diakses dengan mudah tanpa memerlukan keahlian khusus bahasa pemrograman, memanfaatkan media sosial menjadi sangat mudah dan cepat (user friendly).
Dalam media sosial kegiatan seperti memperbaharui status, mengganti foto profil, mengupload foto di wall, penyampaian kondisi dan lokasi saat ini, menulis kata-kata bijak, sudah bukan barang baru lagi. Kegiatan tersebut dapat dikatakan sebagai proses menata tampilan diri didalam media sosial. Aktivitas tersebut memiliki dampak positif yang dapat memberikan kepuasan batin tersendiri bagi pemilik akun di media sosial. Selain itu identitas virtual digunakan sebagai eksistensi diri dan sebagai bukti telah melebur dengan masyarakat yang berada pada dunia maya. Setidaknya perkembangan teknologi sampai saat ini memungkinkan kehadiran pengguna di media sosial hanya masih sebatas representasi dirinya (terkadang dipakai istilah virtual self, digital me, virtual me, virtual identity), belum sampai pada level diri seutuhnya yang berada di dalam media sosial. Meskipun demikian, presentasi diri (virtual identitiy) memiliki dampak negatif termasuk efeknya yang akan dikaji lebih lanjut.
Pembahasan
Dalam kehidupan virtual, dalam representasi diri di World WideWeb terbentuk sebuah identitas virtual (Virtual Identity). Identitas virtual dapat dibentuk secara variatif sesuai keinginan. Bahkan, format teknologi Web 2.0 dan kemajuan mediabaru membuat identitas virtual merupakan sebuah proses yang terus menerus selayaknyaproses yang terjadi di dunia nyata (Lister dkk, 2009:269). Dalam hal ini memungkinkan seseorang didunia nyata membuat satu atau lebih identitas virtual sesuai keinginan dan kemampuannya, sehingga membuat identitas orang dalam cyberspace tampak manipulatif dan tidak menampilkan citra diri secara utuh. Konsep cyberspace sebagai free society dan open society (Awag, 2009) membuat orang dengan mudah dapat masuk dan berbuat didalamnya, sehingga tidak ada larangan atau batasan yang dibuat oleh media sosial dalam pembuatan identitas didalam sebuah akun. Dalam era media baru seperti ini, wacana postmodernitas mempermasalahkan gagasan identitas, menyatakan bahwa identitas hanyalah mitos dan ilusi (Kellner, 2010: 318).
Manusia selalu memiliki rasa ketidak puasan dan keinginan untuk diakui keberadaannya, dalam hal ini media sosial sebagai wadah bagi individu untuk melakukan eksplorasi secara leluasa terhadap presentasi dirinya yang lain didalam dunia maya untuk mencapai sebuah citra diri ideal yang sulit ditampilkan dalam dunia nyata dikarenakan sekat-sekat sosial teretentu. Maka didalam jejaring sosial individu mulai bebas menata dirinya sedemikian rupa untuk mewujudkan dirinya yang ideal, seperti avatar atau foto profile pasti setiap individu menginginkan foto terbaiknya yang terlihat cantik atau tampan terpajang baik itu foto wajah sesungguhnya yang sudah di-edit, foto hasil karyanya, foto idola, dll. Status dimedia sosial juga dapat diatur sedemikian rupa untuk mencerminkan citra yang ingin ditujukan kepada orang lain, sehingga tampilan status di wall harus menarik, lucu atau sebijak mungkin, jika ada komentar dari orang lain yang merusak citra dapat dengan mudah dihapus.
Kebebasan individu dalam menampilkan citra idealnya dalam jejaring sosial sering kali disalah gunakan dan menimbulkan dampak negatif bagi pengguna lainnya. Di facebook sering kita melihat banyak akun-akun ganjil atau akun yang menurut kita itu sudah benar-benar melenceng dari kata normal. Banyak dari akun tersebut merupakan fake account. Biasanya pembuat fake account ini merupakan orang yang haus akan pengakuan eksistensi dirinya di media sosial. Adanya fake account ini sangat merugikan para pengguna media sosial seperti halnya menyebarkan informasi yang tidak penting atau bahkan palsu, seperti menyebarkan status yang sudah bukan diambang manusia bermoral, hingga menyebarkan foto atau video porno. Hal ini dapat menimbulkan adanya cyber crime berupa pencurian dan penggunaan akun milik orang lain, penyebaran video porno, pelanggaran hak cipta masyarakat, pencurian, penipuan, pencemaran nama baik, maupun problem hak dan kebebasan mengakses informasi.
Kesimpulan  Â
Dalam masa sekarang ini kita tidak bisa menyalahkan segalanya kepada terciptanya berbagai aplikasi media sosial, karena media sosial di buat oleh manusia yang tujuan awalnya untuk memudahkan dalam berkomunikasi jarak jauh tanpa ada batasan ruang dan waktu. Namun pada kenyataannya media sosial yang sebagai wadah kebebasan berekspresi diri ini sering disalah gunakan oleh manusia itu sendiri hanya demi kepuasan batin dan eksistensi diri individu dalam dunia maya. Beberapa hal yang kemudian dilakukan agar diakui secara global, yaitu inigratiation (agar disukai), competence (agar diakui terampil), intimidation (untuk memperoleh kekuasaan), exemplification (agar diakui bermoral tinggi), dan supplication (agar tampak tak berdaya) (Jones seperti yang dikutip oleh Jandy E. Luik dalam Media Sosial dan Presentasi Diri, Universitas Kristen Petra, 2015).
Media Sosial juga memfasilitasi menyembunyikan karakter identitas virtual yang tidak ingin ditampilkan atau diketahui publik. Dalam dunia maya kita tidak bisa melihat suatu kebenaran identitas virtual dengan identitas didunia nyatanya, karena kita condong hidup dalam dunia maya maka orang lain terkadang enggan menampilkan narasi hidupnya yang sesuai kenyataan diri dan menutupinya sebagai privasi. Dalam hal ini memungkinkan pengguna mengalami perubahan psikis di mana individu lebih nyaman dengan identitasnya di dunia maya, beberapa individu meng-copy paste individu lain atau dirinya dalam beberapa identitas virtual, batas akan kebenaran dan kepalsuan semakin kabur. Orang-orag dalam dunia maya diharuskan untuk membuat identitas vitual supaya dirinya dapat diaggap melebur menjadi satu dengan masyarakat dunia maya, Sehingga aktivitas meng-update status dianggap menjadi hal penting agar diakui sebagai individu yang selalu up to date.