Moderasi beragama merupakan strategi kebudayaan (cultural strategy) untuk membangun kerukunan beragama di Indonesia. Hal menjadi penting dalam rangka mengelola keragaman kebudayaan (ethnicity) dan keberagamaan (religiosity); menangkal pemahaman radikalisme, konservatisme dan fundamentaslime; serta menyinergikan antara beragama, berdemokrasi dan berkebudayaan secara hamonis. Sejak dirumuskan pada tahun 2019, selama tiga tahun program ini dijalankan, pertanyaanya, sejauh mana netizen di media sosial, Twitter, memahami, mendiseminasi, memaknai moderasi beragama dan toleransi beragama?
Artikel ini mencoba melihat respon netizen di media sosial pada tahun 2022. Data diperoleh melalui sistem Social Network Analysis (SNA) yang dikembangkan oleh Drone Emprit. Data dihimpun pada mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2023. Kata kunci yang digunakan adalah moderasi beragama, kerukunan umat beragama, dan toleransi antar agama, dengan pembatasan (filter) pada bahasa Indonesia. Pemilihan kata kunci (keyword) tersebut karena beberapa pertimbangan. Â Istilah moderasi beragama sebagai istilah baru belum dikenal luas oleh publik. Pengenalan dan pemahaman isitilah ini masih berkutat di lingkungan kementerian Agama. Meski demikian, berkat sosialisasi dan diseminasi, istilah ini, lambat laun mulai dikenal. Kedua, penggunaan istilah yang sepadan, seperti kerukunan umat beragama dan toleransi antar umat beragama untuk melengkapi keterbatasan jangkauan kata kunci pertama.Â
Secara statistik, dinamika interaksi netizen dalam mendiskusikan toleransi mengalami pergeseran nilai dan aksi. Secara nilai (value), toleransi tidaknya dipahami sebagai upaya menghormati dan menerima perbedaan, akan tetapi berkembang menjadi konservasi persatuan dan advokasi kelompok yang terdiskriminasi. Sementara secara aksi (movement), moderasi dan toleransi menjadi kesadaran publik (publik awareness) dan aksi publik (public action) dalam merawat Indonesia dalam bingkai kebinnekaan.Â
Data SNA menunjukkan, total interaksi netizen terkait topik ini berjumlah 15,683 status yang diproduksi oleh netizen di twitter. Dimana jumlah mention berjumlah 5,758% (36.71%), reply berjumlah 1,362 (8.68%) dan retweet berjumlah 8,563 (54,60%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat interkasi (interaction rate) yang membuat status dan memberikan umpan balik berupa reply, retweet dan mention cukup dinamis.
Interaksi ini menandakan bahwa toleransi beragama menjadi diskrusus yang dikontestasikan. Terlepas dari konteks dan sentiment, netizen memiliki pemahaman (public mind) bahwa toleransi dan kerukunan beragama perlu dirawat berasama. Bahkan, kerukunan tampaknya menjadi standar nilai dalam interaksi inklusif di ruang digital. Salah satu indikasinya adalah penggunaan kata toleransi dan kerukuan beragama untuk membangun citra baik dan kesantunan. Netizen tidak segan mengkritik siapapun yang mengkespresikan anti toleransi di Twitter sebagai pelaku yang memecahbelah kerukunan umat beragama, seperti penyebaran hoax, propaganda, dan ujaran kebencian.
Keterlibatan netizen dalam diskurus moderasi beragama bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, intensitas paparan status (exposure) dan jumlah followers. Hal ini untuk melihat siapa saja yang mendiseminasikan dan mendiskusikan topik ini, apakah pengguna dengan jumlah pengikut yang terbatas atau yang memiliki pengikut yang banyak.
Data ini menunjukkan bahwa pemilik akun berjumlah 1001-10K menjadi akun dominan yang berinteraksi di urutan pertama dengan jumlah tweet sebanyak 3,300, diikuti oleh akun dengan jumlah follower 101-500 dengan total tweet sebanyak 3,020, dan akun dengan follower 4-25 dengan total tweet berjumlah 1,157. Akun-akun tersebut memiliki fungsi strategis dalam mengarusutamakan moderasi dan toleransi beragama di ruang digital. Hal ini bisa kita lihat dalam data berikut:
Beberapa akun memposting berita, gagasan dan inovasi kebijakan terkait moderasi beragama. Ada beberapa kategori akun, ada yang merupakan akun personal, lembaga, maupun media. Kolaborasi ini penting agar moderasi beragama tidak hanya menjadi sebuah paradigma, akan tetapi menjadi gerakan sosial (social movement), baik di ruang realitas, maupun di ruang digital.
Lantas, sejauh mana dampak akun-akun yang memiliki follower tersebut ketika menyampaikan pesan moderasi dan toleransi beragama di media sosial? Seberapa besar tingkat keterjangkauan (potential reach) pesan tersebut dikonsumsi oleh netizen?Â
Ada dampak jumlah follower terhadap keterjangkauan pesan dikonsumsi oleh netizen. Meski demikian, relasinya dinamis. Sebagai contoh, jika dalam tahap paparan (exposure), pemilik akun dengan follower 1001-10K menempati posisi pertama, akan tetapi dalam keterjangkauannya berada dalam posisi kedua setelah pemilik akun dengan follower 101-500. Ada beberapa kemungkinan dinamika ini terjadi.Â
Diantaranya adalah pesan yang disampaikan apakah memiliki (1) kedekatan emosional, primordial, intelektual; (2) seberapa penting pesan tersebut perlu untuk diviralkan untuk kepentingan dan pertimbangan tertentu dan (3) apakah terdapat dukungan untuk pengarusutamaan status tersebut?