Mohon tunggu...
Hukum

Bongkar Dugaan Korupsi, Empat Aktivis Serikat Pekerja Malah Dipecat

5 Maret 2019   11:42 Diperbarui: 5 Maret 2019   11:52 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tri Haryanto, Idang Mulyadi, Marion Kova, dan M. Munif Machsun adalah aktivis serikat pekerja di Perum Percetakan Uang Republik Indonesia. Keempat aktivis Serikat Pekerja Peruri ini di-PHK lantaran berupaya mengungkap dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di tempat mereka bekerja.

Pada bulan Mei 2014 Tri Haryanto Dkk. melaporkan adanya potensi kerugian negara dalam pengadaan mesin cetak uang di tempat mereka bekerja kepada Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI) dan melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi ke Kejaksaan Agung RI, yang sangat disayangkan itikad baik para aktivis Serikat Pekerja Perum Peruri tersebut justru disambut dengan tidak baik oleh Perusahaan, mereka justru dipolisikan oleh pihak perusahaan dengan tuduhan pencemaran nama baik dan/atau fitnah atas laporan-laporan mereka tersebut.

Tidak hanya dipolisikan, Tri Haryanto Dkk. juga harus menghadapi gugatan PHK yang dilayangkan perusahaan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung pada tahun 2015. Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin itu peribahasa yang tepat untuk situasi yang dialami oleh para pejuang hak-hak karyawan perusahaan berplat merah tersebut.

Tidak hanya diam dan terima nasib begitu saja, seiring proses Pemutusan Hubungan Kerja dan tuntutan pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tri Haryanto Dkk. didampingi tim Kuasa Hukumnya melakukan tindakan-tindakan pembelaan sesuai prosedur hukum yang ada dan mengadukan tuntutan PHK dan pencemaran nama baik tersebut kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memperoleh perlindungan dan meminta LPSK merekomendasikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Perusahaan agar memperhatikan hak dan kedudukan Tri Haryanyo Dkk. sebagai saksi pelapor/ whistle blower dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan barang yang ditangani oleh Kejaksaan Agung RI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentanh Perlindungan Saksi dan Korban.

Oleh karena kenyataannya tindakan-tindakan Tri Haryanto Dkk. didasarkan pada sikap kritis, itikad baik, untuk kepentingan umum, dan untuk mengamankan keuangan negara akhirnya pada bulan September 2017 Tri Haryanto Dkk. dinyatakan lepas dari segala tuntutan oleh Pengadilan Negeri Jakarta dan putusan lepas tersebut dinyatakan berkekuatan Hukum Tetap oleh Mahkamah Agung pada bulan Agustus 2018.

Seusai menghadapi persoalan pidana, perjuangan Tri Haryanto Dkk. dalam rangka merebut kembali hak-haknya sebagai pekerja juga dilakukan, atas Putusan Pemutusan Hubungan Kerjanya Tri Haryanto Dkk. didampingi tim Kuasa Hukumnya mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali pada akhir 2018.

Dalam kasus ini, dapat dipetik beberapa poin penting, diantaranya yaitu:

Pertama, dalam kedudukannya sebagai pelapor atau saksi dalam suatu tindak pidana, terlebih extraordinary crime (kejahatan luar biasa) seperti tindak pidana korupsi, peredaran narkotika, tindak pidana terorisme dan tindak pidana khusus lain, seseorang berhak memperoleh perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang mana perlindungan ini dapat ditempuh melalui prosedur atau tata cara yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006  tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Kedua, sebagai saksi atau pelapor dalam suatu tindak pidana, siapapun tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata, dalam konteks kasus diatas, memperhatikan status hukum Tri Haryanto dkk sebagai saksi pelapor atau whistle blower, seharusnya perusahaan tidak memberhentikan Tri Haryanto Dkk sebagai karyawannya.

Ketiga, dalam konteks perselisihan ketenagakerjaan, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dalam menyelesaikan PHK karena adanya proses pidana, wajib menunda pemeriksaan gugatan PHK dan mendahulukan proses Pemeriksaan Pengadilan Pidana, bersandarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No: 12/PUU-I/2003 tertanggal 26 Oktober 2004.

Keempat dan yang terpenting, kasus semacam ini tidak boleh terulang lagi dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun