Dalam beberapa hari ini, berbagai media merilis hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga survei bahwa petaha Joko Widodo memiliki tingkat elektabilitas tertinggi dibanding kandidat capres lainnya. Lembaga survei seperti berlomba menampilkan hasil survei mereka bahwa Jokowi adalah calon petahana yang tak akan bisa dikalahkan oleh capres lain termasuk pesaing terdekatnya Prabowo Subianto.
Saya tidak hendak mengomentari hasil survei, apalagi kemudian terjebak dalam bantah bantahan, sebab sebagai orang yang pernah terlibat dalam proses survei, saya faham betul, bahwa setiap hasil survei adalah buah dari sebuah pekerjaan akademik yang jelas dapat dipertanggungjawaban, sekali lagi dari sisi akademik.
Survei opini publik/jajak pendapat menjadi trend di Indonesia sejak tahun 2003 lalu, ketika trio Muhammad Qodari, Syaiful Mujani dan Deny JA mendirikan lembaga survei sebagai permulaan pemakaian survei politik Indonesia. Ketiganya yang kemudian hari menjadi motor bagi para ilmuwan politik lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Sebelumnya, jajak pendapat opini publik dilakukan untuk kalangan internal dan tidak dipublikasikan, namun seiring dinamika politik pada waktu itu, hasil jajak pendapat disiarkan melalui media secara masif dan berkelanjutan hingga hari ini.
Survei atau jajak pendapat jelas tidak bisa dibantah bahkan dengan kalimat apapun, karena pekerjaan ini jelas mengacu pada teory dan data statistik yang sudah ada serta dilakukan dalam koridor ilmu yang secara ketat mengatur tentang metodelogi dan sistimatikanya.
Kembali ke berita di berbagai media yang sudah berulang kali merilis hasil survei, saya mengingatkan kita semua betapa pentingnya untuk mengetahui metode penelitian yang dipakai serta penarikan sampelnya. Selain kemudian mengetahui pula track record lembaga survei tersebut. Dalam direktori Asosiasi Lembaga Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) saat ini tercatat puluhan lembaga survei berbagai skala pekerjaan aktif di Indonesia. Dan sudah tentu saja memiliki latar belakang berbeda.
Tidaklah sulit mendirikan lembaga survei, karena cukup dengan mengurus akta notaris lembaga, serta persyaratan administrasi lainnya, mempunyai analis politik dan ahli statistik, rasannya sudah cukup syarat untuk mendirikan sebuah lembaga survei.
Namun persoalannya, apakah setiap lembaga survei mempunyai analis politik dan ahli statistik yang dapat diandalkan ?, sebab dalam survei, kita menyatukan beberapa disiplin ilmu yang berbeda.
Rilis lembaga survei dan riset yang disampaikan lebih ditujukan untuk melakukan propganda politik atau menggertak lawan dalam sebuah pertarungan politik sambil mempeengaruhi opini pemilih agar beralih atau mengalihkan dukungan kepada calon yang didukungnya.
Sahkah ini ?, jelas sah sah saja, sebab dalam sebuah kampanye politik, sebuah attack campaign jelas dibolehkan. Namun publik tetap harus kritis menyikapi hasil survei. Sebab seperti yang disebutkan, setiap pelaksanaan surbey atau jajak pendapat jelas membutuhkan biaya besar dan analisa dari para ahli yang kompeten serta kredibel serta tentu saja kita juga harus melihat quisionernya. Penyusunan quisioner jelas akan berpengaruh kepada hasil atau jawaban responden. Bukan tidak mungkin quisioner disusun sedemikian rupa sehingga responden tertuntun untuk menjawab sesuai yang diinginkan interviewer. Dan satu hal yang penting, si penyelenggara survei sendiri menyebutkan bahwa tingkat kepercayaan hanya mencapai 95 persen, angka yang masih jauh dari maksimal.
Salam