Di era modern ini, pertanyaan tentang pentingnya dan efektivitas demonstrasi jalanan dalam mengkritik pemerintah menjadi topik diskusi yang menarik. Beberapa berpendapat bahwa pidato protes masih diperlukan sebagai ekspresi demokrasi dan suara orang-orang yang tidak senang dengan kebijakan pemerintah. Yang lain, di sisi lain, berpendapat bahwa dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks secara digital, ada cara yang lebih efektif untuk mengungkapkan kritik dan menghasilkan perubahan.
Orasi demo ke jalanan telah menjadi alat yang efektif selama bertahun-tahun, memberikan platform bagi massa untuk mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah atau masalah sosial tertentu. Demonstrasi jalanan dapat mengumpulkan banyak orang dalam satu tempat, menciptakan kesadaran publik yang lebih luas dan menarik perhatian media. Selain itu, orasi demo dapat memperkuat solidaritas dan semangat perlawanan di antara peserta yang memiliki pandangan dan aspirasi yang sama.
Orasi demo juga memungkinkan para peserta untuk berbagi cerita langsung dan pengalaman mereka secara emosional. Ini membantu menciptakan ikatan empati antara mereka dan publik, sehingga memperkuat dukungan dan partisipasi dalam gerakan sosial. Masyarakat yang lebih sadar dan terlibat cenderung lebih mampu menganalisis tindakan pemerintah dengan lebih kritis, serta mempertanyakan kebijakan yang mungkin tidak sejalan dengan kepentingan mereka.
Namun, ada beberapa argumen yang menyatakan bahwa orasi demo di jalanan tidak lagi menjadi metode yang paling efektif dalam mengkritik pemerintah. Pertama, dengan kemajuan teknologi dan perkembangan media sosial, orang sekarang memiliki akses yang lebih mudah untuk menyebarkan informasi dan menyuarakan pendapat mereka secara online. Platform seperti Twitter, Facebook, dan blog dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan kritik, membentuk opini publik, dan mengorganisir gerakan sosial.
Dalam konteks kritik, media sosial telah membuka pintu bagi individu untuk mengungkapkan pandangan mereka tentang isu-isu yang mereka anggap penting dan memobilisasi dukungan untuk perubahan. Sebelum media sosial, partisipasi publik dalam kritik sering kali dibatasi oleh kendala geografis, finansial, atau politik. Namun, dengan hadirnya media sosial, individu dapat berpartisipasi secara aktif dalam diskusi dan kritik terhadap isu-isu yang mereka pedulikan. Mereka dapat mengomentari, berbagi, dan menyebarkan informasi secara langsung kepada audiens yang lebih luas. Kritik yang diungkapkan di media sosial dapat menjadi titik awal untuk gerakan yang lebih besar dan mendapatkan perhatian dari media tradisional atau pemangku kepentingan yang relevan.
Contoh kasus yang hangat diperbincangkan masyarakat baru-baru ini, dimana seorang tiktoker asal Lampung yang sekarang berkuliah di Australia dilaporkan ke polisi oleh pemda Lampung. Karena merasa tidak terima dengan kata-kata yang dilontarkan dalam sebuah video kritik yang diunggah tiktoker tersebut. Itu menjadi viral karena masyarakat yang berbondong-bondong memberi dukungan dan meng-iyakan fakta-fakta tentang jalanan di Lampung yang diungkap tiktoker tersebut. Dari kasus ini kita dapat mengambil kesimpulan pemerintah baru mulai bekerja jika kritik yang disampaikan itu telah viral dan terkadang orasi demo di jalanan tidak didengar sama sekali oleh pemerintah bahkan sekarang ini media hanya meliput orasi demo apabila terdapat unsur yang dapat diviralkan.
Selain itu, orasi demo di jalanan sering menghadapi masalah keamanan dan kerusuhan dari pihak berwenang dan kelompok-kelompok yang berpandangan berlawanan. Konfrontasi atau kekerasan fisik, yang terkadang terjadi selama pidato protes, dapat mengalihkan perhatian dari pesan yang disampaikan dan menciptakan ketidakstabilan dan kekacauan yang lebih besar.
Semua itu menjadi bukti bahwa kita sebagai mahasiswa harus lebih memanfaatkan lagi media sosial untuk menjadi sarana kritik pemerintah. Â Tidak hanya semerta-merta demo ke jalanan yang hanya menganggu ketertiban umum dan berpotensi ricuh. Serta ujungnya kita sebagai mahasiswa menjadi korban jiwa dalam kerusuhan tersebut. Akan tetapi, penggunaan media sosial juga harus ada etikanya. Kesalahan dalam pemilihan kata yang menimbulkan fitnah dapat menjerumuskan kita ke jeruji besi melalui UU ITE.
Selain itu, seiring dengan perkembangan demokrasi dan partisipasi politik, ada banyak saluran lain di mana kritik terhadap pemerintah dapat diekspresikan. Proses pemilihan umum, parlemen, atau badan legislatif lokal memberikan cara untuk memilih dan memberikan mandat kepada pemimpin yang dianggap mewakili aspirasi rakyat. Selain itu, kelompok advokasi dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) juga memainkan peran penting dalam menyuarakan kepentingan publik dan mengkritik kebijakan pemerintah.
Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa orasi demo di jalanan masih bisa memiliki dampak signifikan dalam beberapa konteks tertentu. Terutama dalam situasi di mana akses terhadap media sosial atau ruang politik yang bebas terbatas, orasi demo dapat menjadi alat yang penting bagi masyarakat untuk mengungkapkan ketidakpuasan mereka dan menarik perhatian publik serta menjadi bentuk partisipasi politik aktif, dimana mahasiswa sebagai perwakilan kepentingan rakyat memiliki kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan dan tindakan pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H