Mohon tunggu...
Misbahul Arifin
Misbahul Arifin Mohon Tunggu... Mahasiswa - penebar salam

dekati dengan pendidikan, imajinasikan dengan kesantunan dan gunakan lisan dan anggota badan untuk marwah dan keselamatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hambatan dan Himpitan Pendidikan Inklusi

7 Juli 2023   00:17 Diperbarui: 7 Juli 2023   00:20 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hambatan dan Himpitan Pendidikan Inklusi

Pendidikan merupakan komponen yang tidak bisa dipisahkan dari diri kita. Pendidikan adalah ukuran bagi setiap perbuatan yang kita timbulkan. Pendidikan jugalah yang memberikan kita dasar bagaimana berkelit dalam kehidupan. Pendidikan yang mengajarkan kita untuk memisahkan kebenaran dan kebatilan. Dalam kenegaraan, indeks keberhasilan suatu negara juga diukur dari bagaimana warga negaranya mudah dalam mengakses layanan pendidikan. Undang undang dasar 1945 dan undang-undang sistem pendidikan nasional, telah jelas dalam memberikan landasan bagi pengelola negara dan rakyat untuk bahu membahu saling menghias bidang Pendidikan negara dari waktu ke waktu. Amanat untuk menyamaratakan, memberikan kemudahan akses dan afirmasi atau kesetaraan bagi setiap warga negara yang akan menempuh pendidikan, telah dijelaskan dengan bahasa hukum yang jelas. Namun, bagaimanakah pengelola dan rakyat mencari pola pendidikan yang ideal dan inklusif di Indonesia?

Ketika kita berbicara tentang satu aspek dalam kehidupan kita, yaitu pendidikan, maka terbesitlah banyak masalah yang akan berusaha kita ungkapkan, permasalahan baku yang sulit dipecahkan semisal permasalahan biyaya pendidikan yang semakin merangkak naik, sampai permasalahan yang berat seperti diskriminasi dalam pendidikan. Permasalahan belum berhenti disitu saja, pergeseran kurikulum pendidikan yang akan mempengaruhi lingkungan mikro dan lingkungan meso peserta didik, juga menjadi tantangan tersendiri dalam perkembangan pendidikan di Indonesia.

Azas pendidikan yang non diskriminatif, tentunya berlandaskan aspek saling menghormati, memiliki rasa keadilan dan memandang peserta didik dari sudut pandang kemanusiaan yang utuh merupakan garis depan dalam memberikan pengalaman belajar yang sebenarnya, memberikan pengalaman utuh bagi peserta didik dan pengajar supaya menghilangkan batas dominasi dalam belajar, menghilangkanstigma, menghilangkan prasangka empirik bersifat diagnostik dalam mata pelajaran tertentu, tidak memberikan dugaan kepada peserta didik dengan label pintar dan tidak memiliki potensi akademik yang utuh, merupakan indikator kecil dalam lingkup suasana belajar yang kondusif dan akan menghilangkan hambatan bagi peserta didik.

Indonesia telah meratifikasi UN-CRPD pada tahun 2011, dan diwujudkan dalam undang-undang nomor 19 tahun 2011. Tujuan dari ratifikasi tersebut sebagai dorongan untuk mengubah pandangan masyarakat, kepada penyandang disabilitas yang dulunya digunakan sebagai objek amal, perlindungan sosial dan perawatan medis, menuju masyarakat yang setara dan memiliki kontribusi efektif. Ratifikasi tersebut kembali ditegaskan dalam UU NO 08 tahun 2016, yang secara khusus membahas tentang penyandang disabilitas. Pasal 10 undang-undang nomor 08 tahun 2016 telah menegaskan bahwa penyandang difabel memiliki hak, untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dalam semua jenis dan jenjang, serta memiliki azas inklusifitas.

Saat ini, indonesia telah perlahan merancang pendidikan inklusif tersebut. Namun, tantangan dan hambatan pasti akan menghiasi keberjalanan pencarian jati diri pola pendidikan ideal di Indonesia. Dimulai dari kebijakan yang dipertentangkan, sehingga menghasilkan kebijakan yang baru, dan mengubah alur pendidikan, sehingga terjadi desentralisasi kewenangan pendidikan, polarisasi pendidikan dan saling tunjuk tanggung jawab dalam fenomena maju mundurnya pendidikan. Inilah yang dialami penyandang disabilitas dalam pemenuhan akomodasi yang layak dalam bidang pendidikan, permasalahan klasik seperti tidak aksesnya gedung sekolah menjadikan siswa berkebutuhan khusus cukup kesulitan dalam  mengakses layanan yang tersedia di sekolah. Tidak tersedianya bahan ajar yang akomodatif, menjadikan siswa dengan hambatan penglihatan atau pendengaran, menjadi tertinggal, dalam penguasaan materi pelajaran, dan yang terakhir, universal disain dalam kurikulum yang masih terkesan hanya muatan iklan, membuat sekolah yang memiliki guru yang cerdas, atau sekolah yang mampu mengadaptasi kurikulum sendiri menjadi mandiri, sedangkan sekolah yang tertinggal dalam sumber daya manusia, akan semakin terseok-seok. Apakah ini yang disebut mendapatkan pendidikan yang bermutu?, inikah yang disebut dengan icip-icip pendidikan, ataukah kita sedang pingsut saja, untuk menunjuk pendidikan yang cocok tampa mendengar dan melihat dengan rasa bagaimana kondisi yang ada?
#ayo diskusi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun