Mohon tunggu...
Misbahul Anwar
Misbahul Anwar Mohon Tunggu... Freelancer - Arsitektur

Penikmat dan tukang teliti di gubuk relativitas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa dan Bagaimana yang Kita Makan, Menentukan Definisi Diri Kita

7 Mei 2019   16:13 Diperbarui: 7 Mei 2019   16:33 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: pxhere.com 

Konsumsi informasi-informasi hoax misalnya yang dilakukan tanpa disertai tabayyun dan proses seleksi secara terstruktur-kalau kata Gus Nadir saring sebelum sharing, terlebih dahulu tentunya akan sangat mempengaruhi pemahaman dan pola pikir kita selanjutnya. Bisa jadi kita akan gampang sekali menyebar luaskan berita tersebut tanpa memperhitungkan berbagai konsekuensi di belakangnya. Integritas kita sebagai manusia yang jujur dan bertanggung jawab akan tergerus dan terdefinisikan kembali ke arah penyempitan nilai. Pembohong menjadi alternatif definisi baru dari diri kita meskipun masih banyak sebutan lainnya lagi. 

Hal lain misalnya program-program media yang kualitas substansinya harus dipertanyakan, perlahan-lahan nantinya akan mengendap dalam pola pikir masyarakat sehingga pada akhirnya menjadi bagian dari output budaya sehari-harinya. Iya, akan baik output budayanya jika yang ditawarkan oleh media adalah produk yang berkualitas dan mendidik. Akan tetapi kenyataannya bisa kita lihat sendiri sungguh sangat disayangkan. 

Gaya hidup hedonis, pamer kekayaan marak sekali dipertontonkan secara terus-menerus tanpa kontrol diri, kemudian secara psikologis dalam diri masyarakat akan tumbuh persepsi bahwa yang demikian biasa adanya dan mempraktekkannya merupakan sebuah pencapaian tersendiri bagi mereka. Inilah yang saya maksud dengan apa yang kita makan mendefinisikan siapa kita.

Kualitas dari tiga -tas itu tentu juga dipengaruhi oleh jenis dan kualitas bahan bacaan yang kita konsumsi. Sebagaimana kita harus memilih makanan dengan kualitas yang segar dan baik agar tubuh tetap fit dan bugar. kita juga harus  meyeleksi dengan seksama apa yang akan kita baca, meskipun tidak ada yang sia-sia dari membaca apapun selama masih bisa memilah mana yang tepat untuk diambil. Namun, tidak menutup kemungkinan sedikit banyak apa yang kita baca akan mempengaruhi pemahaman pembacanya. Ungkapan "buku adalah jendela dunia" menjelaskan bahwa membaca adalah cara untuk membuka jendela itu. Dan buku apa yang kita baca menentukan jendela dunia mana yang akan kita buka.

Jika untuk menjaga jasmani kita tetap sehat dan fit harus membiasakan pola hidup baik yang salah satunya dengan mengkonsumsi makanan-makanan sehat secara teratur. Demikian pula dengan aspek spiritual, mental, dan intelektual, masing-masing harus diberi "makanan" yang berkualitas dan dalam kondisi baik. Asupan "makanan" yang bergizi harus dikasih secara konsisten dan bertahap sesuai dengan perkembangan diri. Memberinya" makanan" sembarangan yang tidak jelas busuk tidaknya tentu akan mengundang penyakit yang tidak diinginkan di kemudian hari. 

Andaipun terpaksa mengkonsumsinya karena tidak ada tawaran lain, itu dilakukan tetap dengan menyaringnya terlebih dahulu. Menyeleksi bagian mana yang masih layak "dimakan". Maksudnya kita harus menggunakan segenap potensi intelektual yang telah dianugerahkan oleh Allah ; pendengaran, penglihatan, dan potensi akal pikiran. Sehingga meskipun "makanan" yang dikasih busuk akan tetapi produk keluarannya tetap nafas-nafas oksigen kebaikan.

Islam memberi alternatif lain dengan menawarkan konsep puasa bersama seperangkat kebermanfaatannya. Konsep tersebut agak berlawanan dengan metode awal pola makan yang teratur. Puasa malah memerintakan untuk menahan diri dari makan dan minum. Dalam dimensi yang lebih mendalam lagi puasa berkaitan dengan menahan diri dari hal-hal yang lebih krusial ; menahan diri dari laku-laku tidak terpuji, menjauhkan diri dari penyakit hati- iri, dengki, dan membenci, memberi jarak pada diri dari memakan suatu hal yang bukan haknya, serta tidak melakukan agenda-agenda yang jelas tidak diperkenankan. 

Namun, di sisi yang lain puasa menyeru pada kelembutan jiwa dan hati, keramahan pada semua anggota alam semesta, serta menyelenggarakan kebaikan-kebaikan yang berdimensi luas dan sosial. Sudah jelas puasa dengan segala nilai-nilainya merupakan solusi paling efektif untuk permasalahan-permasalahan sosial-budaya kita saat ini. Kesadaran massal dibutuhkan untuk mensukseskan itu. 

Untuk meraih peradaban gemilang sekali lagi mungkin kita memang harus berpuasa banyak hal. Berpuasa dari tetap mengkonsumsi program-program dan karya yang nir substansi mendidik dan membangun untuk meningkatkan kadar intelektualitas, berpuasa dari merawat sifat iri, rasa dengki dan permusuhan yang tak kunjung usai untuk memperkuat mentalitas, serta berpuasa terhadap kemewahan, kekuasaan, dan ketidakpuasan diri untuk mengangkat derajat spiritual kita. Sungguh, kita harus melakukan yang demikian sebelum kata terlambat menukik tajam di pelataran bibir kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun