Mohon tunggu...
Misbahul Anwar
Misbahul Anwar Mohon Tunggu... Freelancer - Arsitektur

Penikmat dan tukang teliti di gubuk relativitas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa dan Bagaimana yang Kita Makan, Menentukan Definisi Diri Kita

7 Mei 2019   16:13 Diperbarui: 7 Mei 2019   16:33 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: pxhere.com 

Sejak dari Nabi Adam masih diperkenankan menetap di surga, makan sudah merupakan kebutuhan primer manusia. Hal tersebut dapat diduga berdasarkan apa yang dikisahkan sebelum-sebelumnya bahwa Iblis menggoda Adam supaya makan buah khuldi yang kebetulan pada saat itu merpakan pantangan terberat bagi Adam dan Hawa. Namun, ternyata Bapak dan Ibu dari seluruh umat manusia itu pun jatuh dalam bujuk rayu Iblis dan entah sudah diatur atau tidak sebelumnya akhirnya mereka memakannya. Dan sebab melanggar pantangan itulah mereka diberi ujian menjadi khalifah di bumi untuk sementara waktu dan berlanjut sampai ke kita anak turunan Adam.

Hirarki kebutuhan primer manusia dalam perspektif khazanah tradisi pengetahuan jawa bisa diurutkan dalam tiga tingkatan yakni dari sandang, pangan dan papan. Kebutuhan pangan atau yang berkaitan dengan makanan berada di posisi kedua setelah terpenuhinya kebutuhan akan pakaian. Hal ini wajar saja melihat kebutuhan sandang langsung menyangkut hal tentang self esteem, kepercayaan diri, serta harkat dan martabat diri seseorang. 

Sedangkan kebutuhan pangan dan papan lebih mengacu pada mempertahankan diri dari kelaparan dan ancaman mara bahaya dari luar. Oleh karena itu orang cendrung akan reaksioner ketika harga dirinya yang disandangkan pada apa yang ia pakai diusik dan dipermasalahkan. Tampilan luar memang suatu hal yang begitu penting dewasa ini. Pada awalnya kebutuhan sandang sekadar bertujuan untuk menutupi tubuh- harkat dan martabatnya, agar tidak dilihat orang lain. Namun, nampaknya sekarang ini bergeser sangat jauh ke arena saling pamer kelas, adu gengsi, dan perayaan gaya hidup hedonis.

Di zaman ultra modern ini dimana kekuatan teknologi informasi dan komuikasi dijadikan "dewa", kebutuhan akan pangan juga tidak berhenti hanya pada terpenuhinya esensi dari 4 sehat 5 sempurna untuk tubuh. Akan tetapi, sudah melebar sedemikian luasnya pada harus terpenuhinya "makanan" dari ego yang tak pernah merendah, rasa penasaran yang terus tumbuh, dan rasa tidak puas yang kian hari kian meningkat. Makanan manusia tidak lagi hanya nasi, air, dan sebagainya, ia bisa berupa informasi, berita terbaru, gossip, infotaiment, hiburan-hiburan, serta trend gaya hidup modern. 

Tidak cukup hanya makan satu atau dua piring nasi untuk merasa kenyang, kita harus mengomentari hidup orang lain, menguntit kehidupan pribadi para idol, ikut menyebarkan berita dan gosip yang tak jelas kevalidannya, serta ikut-ikutan trend hidup yang ditawarkan oleh formula dunia modern. Bahkan bisa jadi untuk sebagian orang kebutuhan pangan baru tersebut merangkap menjadi kebutuhan primer yang juga sekaligus merupakan sumber kehidupan bagi mereka.

Ungkapan "kamu adalah apa yang kamu makan" dengan demikian kiranya tidak bisa lagi hanya dialamatkan pada makanan pada umumnya - nasi,air, DKK, yang menjadi objek arti dari kata apa. Di era yang penuh talbis dewasa ini, ia menjadi multitafsir dan bermakna samar-samar. Makanan yang kita konsumsi boleh jadi merupakan sebuah kunci untuk membuat tubuh kita tetap sehat atau malah sebaliknya sakit dan kemungkinan paling ekstrimnya berujung pada kematian. 

Hal yang serupa tentunya juga berlaku bagi "New Dish" , jika dikonsumsi secara berlebihan tanpa proses saring serta kontrol ilmu dan pemahaman yang mencukupi. Bisa juga ia mengundang sakit dan penyakit yang aneh-aneh seperti halnya iri hati, sifat hasad, dan permusuhan yang tak pernah usai. Bahkan bisa sampai pada tingkat kematian ; kematian rasa kemanusian, solidaritas sosial, dan kesadaran etik.

Masalanya, watak kebudayaan masyarakat kita dewasa ini cendrung berorientasi pada kemungkinan yang terakhir. Kita lebih banyak memproduksi konsumsi budaya yang mendorong kita untuk tumbuh dalam cuaca ketidakmenentuan dan ketidakpastian yang mendarah daging di segala aspek kehidupan. Apalagi ditambah dengan "makanan" yang ditawarkan-oleh media misalnya, merupakan produk yang tidak layak dikonsumsi dan begitu banyak yang masih picisan. 

Masih jauh dari kata mampu menggerakkan masyarakat untuk menyelenggarakan usaha-usaha perubahan positif baik baik dalam skala individu maupun sosial. Tidak berhenti di situ saja, media seakan-akan memang sengaja menggiring masyarakat ke arah itu dan justru mendukungnya dengan sadar dan mau mengonsumsi "makanan" yang tidak jelas itu. Sehingga dengan demikian yang terjadi adalah malapetaka seperti dismenejement berfikir, ketidaktepatan ilmu dan pengetahuan, serta kesesatan-kesesatan budaya lainnya. Dan keadaan tersebut diperparah dengan tidak adanya kesadaran pada masyarakat untuk sungguh-sungguh bersedia menanggulanginya.

Term "kamu adalah apa yang kamu makan" tidak bisa diartikan seperti halnya ketika kamu makan kambing maka kamu adalah kambing. Lebih tepatnya mungkin adalah apa yang kamu makan bisa menjadi kunci penentu akan seperti apa dirimu selanjutnya. Kalau dalam konteks makan sehari-hari pada umumnya, apakah tubuh kamu akan sehat atau sakit nantinya. Sedangkan dalam konteks "makanan" lainnya lebih mangacu pada kondisi mentalitas, intelektualitas, dan spiritualitas. Artinya apa yang kita konsumsi sangat berpengaruh pada kualitas eksistensi tiga -tas tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun