Mohon tunggu...
Misbahul Ulum
Misbahul Ulum Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Amatir

Juru ketik, anak petani tulen, mantan karyawan negara.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ramadan, Momentum Instrospeksi

31 Mei 2017   13:06 Diperbarui: 31 Mei 2017   16:28 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terasa, bulan Ramadhan sudah di depan mata. berbagai nuansa khas Ramadhan sudah mulai nampak dan terasa di setiap sudut kota dan desa. Memang, Bulan Ramadhan memiliki makna tersendiri bagi ummat Islam. Bulan ini adalah bulan yang sangat mulia dan bulan penuh ramhat. Pintu ampunan di buka seluas-luasnya, setan di penjarakan, dan segala bentuk ibadah akan dilipatgandakan oleh Allah SWT.

Bahkan, karena kemuliaannya itulah, Rasulullah bersabda “Man Shama Ramadhaana Imanan wa Ihtisaaban, Ghufiro lahu maa Taqaddama min dzanbihi” yang artinya barang siapa yang berpuasa di bulan ramadhan dengan iman dan introspeksi diri, akan diampuni segala dosa-dosanya yang telah lalu. Dari hadits tersebut, terdapat dua spirit keagamaan yang diperintahkan oleh Rasul. Yakni Iman dan Ihtisab. Iman menuntut mengamalan sikap yang Islami, sementara ihtisab menuntut kesadaran untuk bertaubat dan memperbaiki diri.

Berkaitan dengan persoalan Iman, Imam Syafi’i mendefinisikan bahwa iman berarti membenarkan dengan hati (Tashdiq bi al-Qalb), ikrar dengan perkataan (Iqrar bi al-lisan), dan mengamalkan dalam bentuk perbuatan (‘Amal bi al-Arkan). Dari definisi ini, iman meniscayakan pengamalan dari seseorang yang menyatakan diri telah beriman. Sebab, jika tidak, maka sama haknya dengan tidak beriman sama sekali. 

Dalam konteks ini, keimanan bagi orang yang berpuasa mau tidak mau juga harus menuntut sikap-sikap yang Islami. Puasa harus benar-benar dijalankan dengan khusu’ dan penuh dengan ibadah. Itulah sebabnya, Nabi pernah besabda banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya lapar dan dahaga semata. Semua itu karena puasa tidak dijalankan dengan penuh keimanan.

Introspeksi Diri

Selain dengan keimanan, puasa hendaknya dijalankan dengan senantiasa ber-muhasabah atau introspeksi diri. Introspeksi tidak hanya sekedar mengingat kesalahan yang telah diperbuat pada masa lalu semata, dan kemudian bertobat. Akan tetapi lebih dari itu, introspeksi menuntut sikap yang arif dan bijaksana. Introspeksi memang menjadi hal yang cukup penting dalam menjalankan ibadah puasa. Hal ini mengingat introspeksi adalah wujud penghambaan dan wujud tawadhu’ manusia kepada Allah.

Seseorang yang tidak pernah malakukan introspeksi diri, sesungguhnya ia adalah orang yang angkuh dan sombong karena selalu menganggap dirinya benar. Orang seperti ini adalah orang yang paling celaka. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Isa AS bisa menyembuhkan segala penyakit, mulai dari menyembuhkan orang buta, penyakit lepra, bahkan mampu menghidupkan orang yang telah mati. Namun ada satu penyakit yang tidak bisa disembuhkan, yaitu penyakit orang yang dungu.

Kemudian, pada suatu hari Nabi Isa ditanya oleh seseorang, ”Siapakah orang dungu itu?” Lalu Nabi Isa menjawab; ”Orang dungu adalah orang yang kagum pada dirinya sendiri, memandang bahwa dirinya adalah orang yang paling baik, tidak pernah merasa memiliki kekurangan, dan selalu menganggap dirinya adalah orang yang paling benar. Itulah orang-orang dungu yang tidak ada cara untuk mengobatinya.” Lebih jauh, Imam al-Ghazali juga menyebut bahwa orang yang selalu menganggap dirinya sempurna (dungu) adalah orang yang paling celaka. Orang tipe ini selalu merasa benar serta menutup diri dari segala bentuk penilaian masyarakat. 

Menurut Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din manusia itu terklasifikasi menjadi empat macam. Pertama, Rojulun yadri annahu yadri wa yadri annahu yadri  (orang yang tahu dan ia tahu bahwa dirinya tahu). Inilah golongan orang yang paling arif dan bijaksana. Mereka inilah yang harus diteladani dan diikuti. Cara hidupnya bisa menjadi teladan yang nyata bagi masyarakat atau ummat. Golongan ini adalah orang-orang yang berilmu (Alim) dan dia merasa jumawa atas ilmu yang dimilikinya.

kedua, Rojulun yadri wa laa yadri annahu yadri (orang yang tahu, tetapi tidak tahu bahwa dirinya tahu). orang yang seperti inilah yang perlu dibangunkan dan disadarkan. Karena ia seperti orang tertidur. Ia harus segera disadarkan atas tugas dan tanggungjawabnya sebagai orang yang berilmu. ketiga, Rojulun laa yadri wa yadri annahu laa yadri (orang yang tidak tau dan merasa bahwa dirinya tidak tau). Inilah orang yang tahu diri. Ia merasa bahwa dirinya memang tidak tahu dan menyadari ketidaktahuannya. Orang-orang ini perlu mendapat perhatian dari orang-orang yag berilmu. Orang-orang seperti ini harus selalu dibimbing agar ia menjadi orang yang tahu (berilmu).

Keempat, Rojulun laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri (Orang yang tidak tahu dan tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu). Inilah orang yang paling celaka. Orang-orang seperti ini sangat sulit disembuhkan selama belum menyadari ketidaktahuannya. Ia menderita penyakit kebodohan yang teramat berat, yang berpangkal dari ketidaktahuan pada dirinya sendiri, ditambah sifat sombong dan merasa dirinya selalu benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun