Sayangnya, tanpa disadari, hal ini justru bisa membuat pendengar merasa kewalahan.
Selain itu, kurangnya mekanisme coping yang sehat juga bisa menjadi penyebab utama trauma dumping.
Ketika seseorang tidak tahu bagaimana cara mengelola emosi dengan baik, mereka cenderung melampiaskannya dengan cara menceritakan pengalaman traumatis kepada orang lain secara berlebihan.
Beberapa orang juga tidak menyadari bahwa mereka telah melewati batas yang wajar dalam berbagi cerita, sehingga tanpa sengaja membebani orang lain dengan curhat mereka.
Ada juga orang yang terjebak dalam victim mindset, di mana mereka terus-menerus melihat diri mereka sebagai korban tanpa berusaha mencari jalan keluar.
Dalam kasus ini, trauma dumping sering digunakan sebagai cara untuk mencari perhatian atau simpati dari orang lain, tanpa benar-benar berusaha untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Contoh Trauma Dumping dalam Kehidupan Sehari-hari
Trauma dumping bisa terjadi dalam berbagai situasi, baik dalam komunikasi langsung maupun tidak langsung.
Salah satu contohnya adalah melalui chat atau media sosial, di mana seseorang mengirim pesan panjang berisi curhatan emosional tanpa terlebih dahulu menanyakan apakah lawan bicara memiliki waktu atau kesiapan untuk mendengarkan.
Hal ini bisa membuat penerima pesan merasa kewalahan, terutama jika mereka sendiri sedang menghadapi masalah pribadi.
Di tempat kerja, trauma dumping bisa terjadi ketika seseorang terus-menerus berbicara tentang masalah pribadinya di lingkungan kerja, bahkan dalam situasi yang kurang tepat.
Misalnya, saat sedang dalam rapat atau dalam suasana kerja yang sibuk, seseorang tiba-tiba mulai bercerita tentang pengalaman traumatisnya tanpa memperhatikan suasana di sekitarnya.