Pernahkah kau dengar,
bisikan lirih dari dompet yang lunglai,
seperti daun gugur di akhir musim?
Gaji baru saja singgah,
namun jejaknya menguap seperti embun,
yang tak pernah sempat tinggal lama.
Diskon itu,
adalah pelangi di layar ponselmu,
membuat mata berbinar,
tapi tak ada hujan yang nyata,
hanya kekosongan yang tumbuh,
di sudut-sudut ruang tak terlihat.
Di mal yang penuh lampu,
kau memungut kebahagiaan sementara,
menggenggam kantong belanja seperti sebuah puisi,
namun setiap hurufnya
hanya menyisakan tagihan,
yang tak pernah menulis bahagia.
Kebosanan adalah ombak kecil,
yang membawamu ke dermaga belanja,
kau mencari senyum di barang yang belum kau sentuh,
lalu tenggelam di arus dopamin,
menunggu gelap mereda.
Di sudut-sudut malam,
media sosial merayakan tas, gadget,
dan tren yang berlari tanpa henti.
Kau tak ingin tertinggal,
takut ketinggalan jejak kebahagiaan palsu,
yang ditinggalkan oleh layar.
Kita ini,
penumpang yang terlena dalam perjalanan waktu,
mengukur kebahagiaan dengan angka di rekening.
Padahal, kebahagiaan tak pernah dijual,
tak pernah digelar di rak-rak toko,
atau terbungkus diskon.
Pernahkah kau berhenti,
melipat keinginan-keinginan itu seperti kain tua?
Menyimpannya di sudut hati yang damai,
dan belajar menikmati pagi,
yang tak meminta apapun darimu?
Mari kita berjalan,
tanpa tergesa, tanpa rasa haus,
membawa dompet yang ringan,
namun hati yang penuh,
dengan doa dan janji kepada masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI