Di tanganmu, sebuah layar
bukan sekadar kaca dan cahaya,
tapi gema status yang kau pikir abadi.
iPhone, begitu kau sebut,
sebuah mantra dalam hiruk-pikuk kota
di mana gengsi menjelma mata uang.
Mereka bilang ini bukan sekadar benda,
tapi bukti bahwa kau ada
di tengah mereka yang berkelas,
meski dompetmu rapuh,
dan utangmu tumbuh
seperti akar pohon yang tak pernah selesai.
Di kafe kecil itu,
kau keluarkan ponselmu perlahan,
bukan untuk berbicara,
tapi untuk bicara tanpa kata,
bahwa kau, meski pas-pasan,
masih bisa berdiri di tengah lingkaran.
Ah, FOMO yang datang seperti bayangan,
mengintai dari layar-layar kecil.
"Kalau mereka punya, mengapa aku tidak?"
Pertanyaan yang kau bisikkan
lebih keras dari doa-doa yang terlupa.
Kita mengejar yang tak terkejar,
bayangan eksklusivitas
yang dijual mahal dalam iklan-iklan sempurna.
Bukan spek yang mereka tawarkan,
tapi ilusi:
hidup lebih indah, lebih berarti, lebih ada.
Kita lupa,
bahwa bahagia tak punya merek.
Bahwa kesuksesan tak datang dari logo.
Tapi kau terus berjalan,
dengan cicilan di punggungmu,
dan mimpi-mimpi yang berat,
berharap esok gengsi itu
bisa menambal lubang di hatimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H