Pernahkah Anda melihat konten di media sosial yang memperlihatkan seorang pria tiba-tiba melakukan hal-hal absurd?Â
Misalnya, tiba-tiba berada di Kamboja, makan di warung kecil sambil berteriak, atau bahkan muncul di Eropa secara spontan?Â
Konten-konten seperti ini sering dimulai dengan narasi "laki-laki tidak bercerita" dan kemudian diakhiri dengan aksi-aksi tak terduga.Â
Fenomena ini bahkan sempat menjadi tren, diikuti oleh berbagai kalangan, termasuk figur publik seperti Gubernur Jakarta terpilih, Pramono Anum.
Fenomena ini mencerminkan stereotip yang ada di masyarakat: bahwa laki-laki jarang mengekspresikan perasaan atau cerita mereka, tetapi justru memilih tindakan ekstrem untuk menggambarkan emosi mereka.Â
Hal ini memunculkan pertanyaan yang lebih mendalam: Mengapa laki-laki tidak bercerita? Dan apa dampaknya pada kesehatan mental mereka?
Stereotip Gender yang Tertanam Sejak Dini
Pernahkah Anda mendengar kalimat seperti, "Anak laki-laki kok cengeng!" atau "Boys don't cry"? Frasa-frasa seperti ini bukan sekadar ungkapan, tetapi cerminan ekspektasi sosial yang tertanam sejak dini.Â
Anak laki-laki didorong untuk menekan emosi yang dianggap "lembut" seperti sedih, takut, atau malu, sementara anak perempuan lebih diberi ruang untuk mengungkapkan emosi-emosi tersebut.
Menurut penelitian Chaplin dan Aldao, perempuan cenderung lebih ekspresif dibandingkan laki-laki karena adanya peran tradisional yang menekankan sifat merawat, empati, dan komunikasi.Â
Sebaliknya, laki-laki diarahkan untuk menonjolkan emosi seperti marah atau agresi, yang dianggap lebih kuat dan dominan. Hal ini sesuai dengan peran tradisional laki-laki sebagai pelindung dan pencari nafkah.