Hidup di Indonesia semakin hari semakin berat. Harga bahan bakar naik, sembako melonjak, dan kini masyarakat harus menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.Â
Kebijakan ini telah resmi disahkan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).Â
Pemerintah menyebut kebijakan ini sebagai solusi strategis untuk menambah penerimaan negara dan mengatasi defisit anggaran.Â
Tapi, apakah benar kenaikan PPN ini adalah langkah yang bijak? Atau justru menjadi beban baru bagi rakyat kecil yang sudah kesulitan?Â
Latar Belakang Kenaikan PPN
Pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 12% dengan alasan untuk memperbaiki keuangan negara. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi defisit anggaran yang cukup besar.Â
Defisit ini terjadi karena pengeluaran negara lebih besar daripada pemasukan. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya rasio pajak Indonesia yang hanya mencapai 10,2%.Â
Dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN, angka ini sangat tertinggal. Singapura memiliki rasio pajak sekitar 15%, sementara Thailand mencapai 14%.
Kenaikan tarif PPN dipandang sebagai cara cepat untuk meningkatkan pendapatan negara.Â
Pajak ini dinilai lebih mudah dipungut karena langsung diterapkan pada barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.Â
Pemerintah juga beralasan bahwa kebijakan ini dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.Â