Rumah yang Kubangun Sendiri
Punya rumah sendiri, katamu,
tak sekadar soal batu bata dan pintu kayu.
Di balik dindingnya,
ada angka-angka yang mengejar bulan.
Tagihan listrik mengintip dari celah jendela,
sementara air mengalir, diam-diam menghitung langkahnya.
Renovasi, bukan perkara ubin retak,
tapi soal menghitung pajak,
2,2 persen, atau mungkin lebih,
tahun depan? Mungkin angkanya melonjak,
dan kita tetap membangun,
lantai-lantai mimpi yang kita semen sendiri.
Kamu duduk di teras,
menghitung luas rumah:
dua ratus meter lebih sedikit,
cukup untuk kena pajak.
Kata tetangga, bangunan ini bukan cuma tempat tinggal,
tapi perpustakaan rasa,
tempat kita menyimpan rindu yang tak pernah selesai direnovasi.
Membangun rumah,
adalah pekerjaan sunyi.
Kayu, beton, baja,
mengabdi pada aturan yang tak pernah kita tulis sendiri.
Lalu kita bertanya,
lebih baik rumah baru,
atau rumah bekas?
Tapi jawabannya,
selalu tersangkut di sela-sela atap,
di antara hujan yang datang tanpa aba-aba.
Maka kita pilih diam,
sembari menunggu suara-suara lain,
yang tak berhenti menghitung harga.
Karena punya rumah sendiri,
bukan soal tembok yang berdiri,
tapi tentang apa yang kita rawat,
di antara tagihan, renovasi,
dan angka-angka yang tak pernah kita pahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H