Deflasi di Pasar Pagi
Harga bawang merah jatuh
seperti hujan ringan di awal musim,
perlahan membasahi meja pedagang,
tapi tak ada yang berlari membeli.
Cabai merah seperti api yang meredup,
pedasnya hilang di kerumunan
para ibu yang menawar dengan ragu,
menghitung receh sambil menghela napas.
Ayam di etalase
memandang sepi yang makin panjang,
dagingnya tidak lagi membanggakan
seperti saat pasar masih hiruk pikuk
dan anak-anak berlari mengejar potongan harga.
Di mana suara tawa para pedagang?
Bersama harga yang turun,
senyum ikut menyusut
dalam perut lapar hari-hari yang semakin panjang.
Kita hidup dalam angka-angka
yang terus mengecil,
mengejar waktu yang tidak lagi menunggu,
dan berharap,
harga bisa kembali memeluk kita
sebelum pagi habis
di kantong yang semakin tipis.
Di ujung pasar,
seorang lelaki tua duduk mematung,
membaca koran sambil menggumam:
"Deflasi itu, seperti musim hujan
yang datang tak diundang
dan pulang tak diharap."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H